Kamis, 20 Agustus 2009

Pedagang Kaki Lima

::Keindahan Kota::
Mengapa Pemkot Makassar Lamban?

Judul tulisan ini diadopsi dari berita Fajar Online tanggal 13 Februari 2005 yang menilai bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar tidak peka dalam menangani permasalahan keindahan kota.

Dampak dari ketidakpekaan ini terbukti dengan banyaknya kasus penggusuran yang menimbulkan permasalahan sosial. Sebagai contoh kasus pedagang kaki lima di Makassar Mall.


Kemudian, jika kita kembali membuka lembaran sejarah tentang penggusuran, dua bulan setelah Ilham Arief Sirajuddin berkuasa sudah menunjukkan keperkasaan sebagai walikota “bertangan besi” dan tidak aspiratif dengan melakukan penggusuran warga Panambungan kecamatan Mariso dengan tidak manusiawi (15/07/2004).

Belajar dari tindakan walikota yang menggusur warga Panambungan dinilai melampaui batas kemanusiaan dan menuai kritik tajam dari berbagai pihak sehingga menyebabkan upaya untuk menata kota Makassar cenderung dinilai lamban dan apatis terhadap munculnya bangunan liar dan Pedagang Kaki Lima (PKL).

Misalnya PKL berjualan di jalan Urip Sumiharjo, Perintis Kemerdekaan, Sultan Alauddin, Pettrarani dan sejumlah sudut-sudut jalan di dalam kota Makassar.

Inkonsistensi Pemkot Makassar di bawah kemudi Ilham Arief Sirajuddin bahwa bangunan yang dihuni PKL dianggap liar sementara pajak retribusi tetap dipungut oleh aparat Pemkot. Sebaiknya, Walikota tidak dapat berapologi lagi bahwa bangunan liar yang dihuni PKL adalah liar namun di sisi lain aparatnya tetap memungut pajak retribusi.

Dari realitas yang mendua itu dari Pemkot dapat dimaknai bahwa sudah 9 (sembilan) bulan Ilham Arief Sirajuddin berkuasa, beliau tidak mempunyai konsep yang jelas dalam menata keindahan kota, khususnya mengakselerasi serbuan urbanisasi dengan motif perbaikan ekonomi, tumbuh suburnya PKL yang menimbulkan kekumuhan, dan perencanaan kota.

Jika benar bahwa Walikota sekarang tidak mempunyai konsep dalam menata kota, maka cara kerja yang akan dilakukan tergantung dari pemilik modal yang akan berinvestasi di kota ini atau tiba masa tiba akal. Konsekuensinya, maka penggusuran yang harus diterima oleh warga sebagai ideologi pembangunan kota.

Menjadi walikota bukan pekerjaan mudah seperti membalik telapak tangan dalam menata keindahan kota. Dan, jangan walikota sudah frustasi menghadapi bangunan liar dan PKL yang menimbulkan kekumuhan kota menggunakan cara-cara yang tidak manusiawi (baca: penggusuran) dalam menyelesaikan masalah.

Sebenarnya, jika Pemkot Makassar mempunyai kecerdasan dalam membangun kota yang manusiawi, indah, dan aspiratif, mengapa tidak menempuh jalan yang lebih elegan dengan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menata kota.

Bagi pedagang informal yang mendiami jalan-jalan kota perlu segera melakukan relokasi tempat sehingga pedagang-pedagang informal menjadi tertata apik.

Perlu diingatkan sebagai pemimpin bijak tentu akan menempuh cara “membangun tanpa menggusur”, hal ini dapat dicapai dengan menata kembali kawasan PKL yang tepat, terjangkau dan indah, hal tersebut diperlukan perencanaan dan koordinasi antar lembaga pemerintah.

Alternatif lain untuk mengajak masyarakat menata kota tidak selamanya dalam bentuk uang, tetapi dengan cara lain yang lebih menyentuh. Seperti program yang pernah dilakukan pemerintah Kota Pontianak dengan menanam tanaman hias dan bunga di jalan protokol dan ruang publik sehingga warga memiliki rasa tanggung jawab untuk menjadi kota yang indah, segar, hijau, dan nyaman.

Munculnya bangunan liar dan masalah PKL yang cenderung semakin semrawut di kota Makassar, walikota tidak perlu frustasi menghadapi masalah yang ada di depan matanya. Pedagang yang bergerak sektor informal perlu disentuh motivasi dan keterampilan sehingga usahanya dapat berkembang.

Kota ini bukan milik walikota tetapi milik warga. Maka dari itu warga perlu diajak partisipasinya untuk memperindah kota. Tugas Walikota bagaikan diregen orkestra pembangunan yang mampu mengatur irama aspirasi masyarakatnya. Kecuali jika Walikota Makassar sudah tidak mampu menjadi dirigen kota, jangan berdiam diri melihat keresahan warganya tanpa solusi.

Kata orang bijak: malu bertanya sesat dijalan, atau malu bertanya karena memang tidak mampu membuat pertanyaan karena membuat pertanyaan membutuhkan energi untuk berpikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar