Kamis, 17 April 2014

Faktor Penyebab Tumbuhnya Permukiman Kumuh Di Pusat Kota Dan Kawasan Pesisir Pantai

Pada dasarnya suatu permukiman kumuh terdiri dari beberapa aspek penting, yaitu tanah/lahan, rumah/perumahan, komunitas, sarana dan prasarana dasar, yang terajut dalam suatu sistem sosial, sistem ekonomi dan budaya baik dalam suatu ekosistem lingkungan permukiman kumuh itu sendiri atau ekosistem kota. oleh karena itu permukiman kumuh harus senantiasa dipandang secara utuh dan integral dalam dimensi yang lebih luas. Beberapa dimensi permukiman kumuh yang menjadi penyebab tumbuhnya permukiman adalah sebagai berikut:

1.Faktor Urbanisasi Dan Migrasi Penduduk

Substansi tentang urbanisasi yaitu proses modernisasi wilayah desa menjadi kota sebagai dampak dari tingkat keurbanan (kekotaan) dalam suatu wilayah (region) atau negara. Konsekuensinya adalah terjadi perpindahan penduduk (dengan aktifitas ekonominya) secara individu atau kelompok yang berasal dari desa menuju kota atau daerah hinterland lainnya. Hal ini perlu dibedakan dengan pengertian tingkat pertumbuhan kota (urban growth) yang diartikan sebagai laju (rate) kenaikan penduduk kota, baik skala mandiri maupun kebersamaan secara nasional.
Ukuran tingkat keurbanan, biasanya dalam konteks kependudukan yaitu dengan memproporsikan antara jumlah penduduk perkotaan terhadap jumlah penduduk nasional. Tetapi masalah urbanisasi tidak harus diinterpretasikan dalam konteks kependudukan semata, kenyataannya harus mencakup dimensi perkembangan dan kondisi sosial, ekonomi masyarakat, bahkan lebih jauh mencakup pula aspek budaya dan politik. Pada intinya dalam aspek kegiatan ekonomi, pengertian urbanisasi merupakan substansi pergeseran atau transformasi perubahan corak sosio-ekonomi masyarakat perkotaan yang berbasis industri dan jasa-jasa (Tommy Firman, 1996).
Rumusan beberapa faktor secara umum yang dapat mempengaruhi terjadinya proses keurbanan, antara lain :

1.Ketimpangan tingkat pertumbuhan ekonomi antara desa dengan perkotaan
2.Peluang dan kesempatan kerja yang lebih terbuka di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah perdesaan
3.Terjadinya pola perubahan minat tentang lapangan pekerjaan dari pertanian ke industri, utamanya bagi penduduk usia kerja di perdesaan
4.Lebih majunya teknologi dan infrastruktur prasarana transportasi, sehingga memudahkan terjadinya mobilitas penduduk baik yang permanen atau yang ulang alik.
5.Keberadaan fasilitas perkotaan yang lebih menjanjikan, utamanya aspek pendidikan, kesehatan, pariwisata dan aspek sosial lainnya
Proses urbanisasi perkotaan adalah suatu gejala umum yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang. Proses pembangunan yang berlangsung relatif pesat. Karena daya tarik kota sangat kuat, baik yang bersifat ekonomis maupun non ekonomis. Keadaan daerah perdesaan yang serba kekurangan merupakan pendorong yang kuat dalam meningkatnya arus urbanisasi ke kota-kota besar.
Bagi kota yang mulai padat penduduknya, pertambahan penduduk tiap tahunnya jauh melampaui penyediaan kesempatan kerja didalam wilayahnya sehingga dirasakan menambah berat permasalahan kota. Tekanan ekonomi dan kepadatan tinggal bagi kaum urban memaksa mereka menempati daerah-daerah pinggiran (slum area) hingga membentuk lingkungan permukiman kumuh.

Migrasi sebenarnya telah berkembang dan berbagai ahli telah banyak membahas tentang teori migrasi tersebut dan sekaligus melakukan penelitian tentang migrasi.
Lee dalam Lisna Yoeliani P (1966) mendekati migrasi dengan formula yang lebih terarah. faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk bermigrasi dapat dibedakan atas kelompok sebagai berikut :
a.Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat asal migran.
b.Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat tujuan migran (destination)
c.Faktor-faktor penghalang atau pengganggu (intervening factors)
d.Faktor-faktor yang berhubungan dengan individu migran.

Faktor-faktor yang ada di tempat asal migran maupun di tempat tujuan migran dapat terbentuk faktor positif maupun faktor negatif. Faktor-faktor di tempat asal migran misalnya dapat berbentuk faktor yang mendorong untuk keluar atau menahan untuk tetap dan tidak berpindah. Di daerah tempat tujuan migran fakor tersebut dapat berbentuk penarik sehingga orang mau datang kesana atau menolak yang menyebabkan orang tidak tertarik untuk datang. Tanah yang tidak subur, penghasilan yang rendah di daerah tempat asal migran merupakan pendorong untuk pindah. Namun rasa kekeluargaan yang erat, lingkungan sosial yang kompak merupakan faktor yang menahan agar tidak pindah. Upah yang tinggi, kesempatan kerja yang menarik di daerah tempat tujuan migran merupakan faktor penarik untuk datang kesana namun ketidakpastian, resiko yang mungkin dihadapi, pemilikan lahan yang tidak pasti dan sebagainya merupakan faktor penghambat untuk pindah ke tempat tujuan migran tersebut.
Keberadaan penduduk migran di permukiman kumuh yang menempati lahan milik pemerintah atau milik publik, dapat dikategorikan sebagai hunian ilegal atau lazim disebut hunian liar (squatter). Hal ini jelas telah menimbulkan konflik antara penghuni dengan instansi yang bertanggung jawab atas lahan yang ditempatinya, Meskipun mereka tinggal pada permukiman liar, namun mereka juga membentuk lembaga Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), bahkan sebagian dapat menikmati penerangan listrik, ada pula yang punya telepon rumah, dan tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga telah berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Kondisi yang demikian, jelas akan mempersulit bagi Pemkot Kendari maupun pemilik lahan untuk membebaskan permukiman demikian.
Penduduk pendatang yang kurang selektif, meskipun telah memberi kontribusi negatif terhadap kondisi lingkungan kota karena telah menciptakan permukiman kumuh dengan segala implikasinya, namun sebenarnya mereka juga memberi kontribusi positif bagi pembangunan Kota. Kota Kendari telah memperoleh alokasi sumberdaya manusia dari daerah perdesaan. Sumberdaya manusia asal perdesaan kendati kualitasnya rendah, namun mereka telah menjadi bagian dari ekosistem perkotaan yang secara langsung menyumbangkan jasa tenaga kerja murah, dan menyediakan produksi skala rumah tangga, terutama sangat diperlukan bagi usaha formal maupun masyarakat golongan menengah ke atas, baik sebagai tenaga kerja maupun sebagai bagian dari segmen pasar, bahkan sebagai distributor komoditi pabrikan. Keberadaan permukiman kumuh yang dapat menyediakan perumahan murah, juga sangat membantu penduduk kota yang menginginkannya, misalnya buruh pabrik atau pegawai daerah golongan rendah yang memerlukan kamar sewaan ataupun kontrakan yang relatif murah.

2.Faktor Lahan di Perkotaan
Pertumbuhan dan perkembangan kota yang sangat pesat telah menyebabkan berbagai persoalan serius diantaranya adalah permasalahan perumahan. Permasalahan perumahan sering disebabkan oleh ketidakseimbangan antara penyediaan unit hunian bagi kaum mampu dan kaum tidak mampu di perkotaan. Di samping itu sebagian kaum tidak mampu tidak menguasai sumber daya kunci untuk menopang kehidupannya, sehingga kaum tidak mampu ini hanya mampu tinggal di unit-unit hunian sub standar di permukiman yang tidak layak.
Permasalahan perumahan di atas semakin memberatkan kaum tidak mampu ketika kebijakan investasi pemanfaatan lahan mengikuti arus mekenisme pasar tanpa mempertimbangkan secara serius pentingnya keberadaan hunian yang layak bagi kaum miskin diperkotaan. Investasi pemanfaatan lahan yang salah, semata-mata berpihak pada kaum mampu pada akhirnya mendorong lingkungan permukiman kaum tidak mampu yang tidak layak ini terus mengalami penurunan kualitas dan rentan masalah sosial lainnya.

3. Faktor Prasarana dan Sarana Dasar
Secara umum karakteristik permukiman kumuh diwarnai juga oleh tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar seperti halnya suplai air bersih, jalan, drainase, jaringan sanitasi, listrik, sekolah, pusat pelayanan kesehatan, ruang terbuka, pasar dan sebaginya. Bahkan hampir sebagian besar rumah tangga di lingkungan permukiman kumuh ini mampunyai akses yang sangat terbatas terhadap pelayanan sarana dan prasarana dasar tersebut.
Rendahnya kemampuan pelayanan sarana dan prasarana dasar ini pada umumnya disebabkan kemampuan pemerintah yang sangat terbatas dalam pengadaan serta pengelolaan sarana dan prasarana lingkungan permukiman, kemampuan dan kapasitas serta kesadaran masyarakat juga terbatas pula. Bahkan juga disebabkan pula oleh terbatasnya peran berbagai lembaga maupun individu atau pihak di luar pemerintah, baik secara profesional atau sukarela dalam peningkatan permasalahan sarana dan prasarana dasar.

4. Faktor Sosial Ekonomi
Pada umumnya sebagian besar penghuni lingkungan permukiman kumuh mempunyai tingkat pendapatan yang rendah karena terbatasnya akses terhadap lapangan kerja yang ada. Tingkat pendapatan yang rendah ini menyebabkan tingkat daya beli yang rendah pula atau terbatasnya kemampuan untuk mengakses pelayanan sarana dan prasarana dasar.
Di sisi lain, pada kenyataannya penghuni lingkungan permukiman kumuh yang sebagian besar berpenghasilan rendah itu memiliki potensi berupa tenaga kerja kota yang memberikan konstribusi sangat signifikan terhadap kegiatan perekonomian suatu kota. aktivitas ekonomi di sektor informal terbukti telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap berlangsungnya kehidupan produksi melalui sektor informal.
Dengan demikian tingkat pendapatan penghuni lingkungan permukiman kumuh yang rendah ini merupakan permasalahan yang serius keberlangsungan produtivitas suatu kota. Permasalahan sosial ekonomi merupakan salah satu pendorong meningkatnya arus urbanisasi dari desa ke kota, dari daerah pinggiran ke pusat kegiatan ekonomi sehingga menumbuhkan lingkungan permukiman kumuh baru.
Ketidakmampuan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah juga menjadi faktor penyebab munculnya permukiman kumuh di daerah perkotaan maupun di daerah pesisir. Keterbatasan penghasilan akibat dari semakin sulintya mencari pekerjaan didaerah perkotaan membuat masyarakat yang berada di garis kemiskinan semakin kesulitan untuk menyediakan perumahan yang layak huni bagi mereka sendiri.
Ketika kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi, Masyarakat berusaha dengan orientasi memenuhi kebutuhan hidup. Dan, ketika mereka berhadapan dengan keterbatasan pekerjaan formal yang jelas strukturnya, mereka menciptakan pekerjaan-pekerjaan informal yang memberi peluang untuk melangsungkan kehidupan. Tercukupinya kebutuhan hidup adalah konsep sederhana tentang kebahagiaan yang dimiliki oleh kaum miskin. Namun, dalam usaha mereka tersebut, mereka berhadapan dengan roda pembangunan ciptaan penguasa yang tidak berpihak pada mereka.
persoalan ketidak mampuan ekonomi merupakan imbas urbanisasi, lonjakan pengangguran, serta tingginya tuntutan dan biaya hidup yang memaksa manusia kota kreatif untuk berusaha di bidang ekonomi. Berdasar survei Bappenas pada 2002, kuantitas pekerja di sektor informal selalu paralel dengan tingkat Pemutusan Hubungan Kerja serta angka pengangguran. Semakin tinggi angka Pemutusan Hubungan Kerja dan tingkat pengangguran, berarti jumlah Pekerja pada sektor informal juga akan bertambah. Urbanisasi juga menyumbang pertambahan pekerja pada sektor informal lantaran para pendatang dari perdesaan umumnya tak memiliki keterampilan yang memadai di sektor formal. (Jawa Pos, 17/02/06).
Aktivitas-aktivitas formal tidak terbatas pada pekerjaan-pekerjaan dipinggiran kota saja, tetapi bahkan juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi. Aktivitas-aktivitas ekonomi informal adalah cara melakukan sesuatu yang ditandai dengan :
a. Mudah untuk dimasuki
b. Bersandar pada sumber daya lokal
c. Usaha milik sendiri
d. Operasinya dalam skala kecil
e. Padat karya dan teknologinya bersifat adaptif
f. Keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal
g. Tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif.

Aktivitas-aktivitas sektor informal pada umumnya dikesampingkan, jarang didukung, bahkan seringkali diatur oleh aturan yang ketat, dan terkadang tidak diperhatikan oleh pemerintah.
Menurut Daldjoeni (1987:172), mereka yang masuk ke dalam sektor informal adalah mereka yang harganya berada di kelas dua, artinya bahwa mereka yang orientasi pemasarannya untuk golongan menengah ke bawah. Untuk itu, mereka harus lebih diformalkan, lebih dipadatmodalkan, lebih ditatabukukan, lebih dibadanhukumkan, dan lebih dikenai pajak.
Secara implisit dalam kegiatan perdagangan, kegiatan informal dalam bentuk pedagang kaki lima. Ditinjau dari karakteristik kehadirannya, timbul sektor informal karena :
1. Tingkat persaingan pekerjaan yang tidak diimbangi dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai.
2. Tidak adanya hubungan kerja kontrak jangka panjang seperti halnya yang dimiliki oleh sektor formal, sehingga mengakibatkan mobilitas angkatan kerja dalam sektor informal menjadi relatif lebih tinggi.
3. Meningkatnya arus urbanisasi

Ketidakmampuan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, untuk membangun rumah yang layak huni menambah daftar panjang permasalahan permukiman kumuh diperkotaan dan daerah pesisir. Jika golongan miskin dianggap tidak mampu untuk membantu dirinya sendiri dalam membangun rumah yang layak huni maka mereka seharunya dibantu. Dalam konteks perumahan, kecenderungan ini berarti hanya pemerintah sajalah yang mampu membangun perumahan yang layak huni bagi masyarakat miskin. Menurut Turner dalam Alan gilbert dkk, pemerintah sebaiknya membangun perumahan swadaya. Dan itu akan terjadi manakala masyarakat miskin tersebut memahami peranannya bahwa perumahan merupakan bagian dari hidup mereka.

5. Faktor Sosial Budaya
Permukiman kumuh juga sering ditandai oleh tingkat pendidikan dan keterampilan yang sangat rendah. Pada umumnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah ini sangat erat dengan rendahnya tingkat pedapatan penduduk sehingga mambatasi akses terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Di samping itu struktur sosial penghuni lingkungan permukiman sangat majemuk dengan beragam norma-norma sosialnya masing-masing. Keragaman ini kadang-kadang menimbulkan kesalahpahaman, saling tidak percaya antar penghuni, yang menyebabkan rendahnya tingkat kohesivitas komunitas. Masing-masing mengikuti struktur hubungan antar sesama dan budaya yang beragam, yang mempengaruhi bagaimana sebuah individu, keluarga dan tetangga dalam berinteraksi di lingkungannya. Sehingga kadang-kadang menyulitkan upaya membentuk suatu lembaga yang berbasis pada komunitas atau upaya-upaya peningkatan kesejahteraan bersama.
Konflik sosial antara warga kota dapat dilihat dari konflik untuk mencari pekerjaan dan semakin tingginya angka kejahatan dikota membuat kota semakin tidak aman bagi masyarakat kota. Argumentasi disorganisasi atau nuansa di kota yang aman hampir tidak dapat dipungkiri bahwa rasa aman hidup dikota semakin hilang. Hal ini akibat dari perilaku yang terlepas dari kontrol sosial terhadap nilai-nilai masyarakat. Kaum migran desa-kota cenderung berharap mereka akan mampu memperbaiki posisi sosial ekonomi mereka ketika melakukan migrasi kekota. Mereka dipenuhi pikiran untuk memapankan hubungan pekerjaan dan nilai finansial yang akan didapatkannya ketika berada dikota. Namun perlu diketahui bahwa persaingan dikota jauh lebih besar dibandingkan dengan di desa. (darsono Wisadirana : 2004)
Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan/skill dan potensi akan tersingkir dari dunia usaha yang sifatnya formal. Akibatnya untuk mencari pekerjaan mereka menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dengan bergerak dalam sektor usaha informal.
Kasus kejahatan yang dapat terjadi dari konflik sosial adalah akibat semakin tingginya jurang pemisah antara kaum kaya dan kaum miskin yang tidak mampu untuk bersaing. Maka muncullah kejahatan sebagai jalan pintas untuk mendapatkan keuntungan yang lebih cepat. Pencurian dan perampokkan dipermudah lagi oleh tidak adanya sosialisasi dengan sikap acuh tah acuh sesama masyakat yang bersifat individualistis. Dan sesama masyarakat saling tidak kenal dan puas dengan kehidupan subsistem. Tetapi orang-orang miskin dikota mungkin tidak memiliki alternatif perkerjaan lain kecuali harus mencuri dan merampok untuk mempertahankan kehidupan mereka. Kadang ada juga yang secara terorganisir melakukan perampokkan dan pencurian dengan modus yang berbeda-beda. Konflik sosial lain akibat tidak adanya lapangan pekerjaan yang dapat menampung kaum migran adalah dengan melakukan pekerjaan sebagai pemulung atau pekerjaan lain yang dapat mereka lakukan. (Daldjoeni: 1997)
Masyarakat yang bermigrasi kekota juga membawa nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat desa. Sementara masyarakat kota yang heterogen memiliki cirinya sendiri. Salah satu ciri masyarakat kota dalam Alan Gilbert mengungkapkan bahwa ciri masyarakat kota ditandai dengan :
a. Lebih terbuka terhadap perubahan
b. Kota merupakan pintu gerbang ide-ide dan budaya yang baru
c. Masyarakat kota lebih kritis terhadap perubahan harga barang dan lainnya
d. Lebih rasional
e. Faktor pendidikan dan informasi sangat dibutuhkan
f. Proses individualisme lebih mencolok dibandingkan dengan suasana kekeluargaan
g. Aktivitas dan jarak sosial yang lebih padat
h. Dikelompokkan oleh kepentingan
i. Kerawanan dan berdampak pada persaingan dan agresivitas
j. Keragaman pekerjaan baik dari sektor industri maupun sektor jasa.

Menurut Betrand (1987) Dalam (Darsono Wisadirana , 2005 : 23) masyarakat merupakan hasil dari suatu perubahan budaya dan akumulasi budaya. Jadi masyarakat bukan sekedar jumlah penduduk saja melainkan sebagai suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antar mereka. Sehingga menampilkan suatu realita tertentu yang mempunyai ciri-ciri tersendiri. Dimana dari hubungan antar mereka ini terbentuk suatu kumpulan manusuia kemudian menghasilkan suatu budaya. Jadi masyarakat merupakan sekumpulan orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
Masyarakat dan kebudayaan sebenarnya merupakan perwujudan dari perilaku manusia. Antara masyarakat dan kebudayaan dalam kehidupan yang nyata, keduanya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sosial bagaikan dua sisi mata uang. Tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan atau sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya.
Kota pun menjadi fokus dari perubahan sosial yang mengisinkan hadirnya kegiatan-kegiatan personal yang menyimpang. Tingkat kejahatan, kenakalan remaja, dan kegiatan menyimpang lainnya menjadi cukup tinggi di daerah perkotaan. Jika sektor informal bisa menampung tenga kerja kaum marginal maka pemerintah kota tidak perlu membatasi mereka untuk mencari penghidupan pada sektor inforal ini. Karena pada kenyataannya meraka tidak mampu untuk ditampung pada sektor formal karena keterbatasan-keterbatasan yang ada pada masyarakat marjinal. (Daljoeni :1997)
Daerah-daerah permukiman liar tadi merupakan penerusan dari kehidupan perdesaan yang serba luwes. Pendudukya lebih gigih mempertahankan tanah yang terlanjur mereka tempati sehingga sulit untuk melakukan penggusuran. Ciri-ciri sosial ekonomi kaum penghuni gubug-gubug liar yang tergolong kaum marjinal dan penduduk termiskin terdiri atas para urbanisan yang paling baru datangnya. Tetapi mereka merupakan penggerak kota karena bekerja sebagai kuli bangunan, kuli pelabuhan, dan buruh kasar yang membuat ekonomi berjalan terus.
Oleh karena itu setiap penanganan permukiman kumuh harus secara serius melaksanakan identifikasi asal-usul tumbuh kembangnya lingkungan permukiman tersebut guna membantu melakukan rekonstruksi nilai-nilai sosial budaya yang ada dan berlaku di dalamnya, termasuk keterkaitan dengan konfigurasi struktur sosial budaya kota.

6. Faktor Tata Ruang
Dalam konstelasi tata ruang kota, permukiman kumuh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsfigurasi struktur ruang kota. oleh karena itu, perencanaan tata ruang kota perlu didasarkan pada pemahaman bahwa pengembangan kota harus dilakukan sesuai dengan daya dukunya termasuk daya dukung yang relatif rendah di lingkungan permukiman kumuh.
Investasi yang salah terhadap pemanfaatan ruang kota akan menimbulkan dampak yang merusak lingkungan serta berpotensi mendorong tumbuhkembangnya lingkungan permukiman kumuh atau kantong-kantong lingkungan permukiman kumuh baru, bahkan bisa jadi akan menghapus lingkungan permukiman lama atau kampung-kampung kota yang mempunyai nilai warisan budaya tinggi yang kebetulan pada saat itu lingkungan telah mengalami kemerosotan atau memburuk.
7. Faktor Aksesibilitas
Secara umum, salah satu penyebab munculnya permukiman kumuh adalah terbatasnya akses penduduk miskin kepada kapital komunitas (community capital). Kapital komunitas ini meliputi kapital terbangun, individu dan sosial serta lingkungan alam.
Kapital terbangun meliputi informasi, jalan, sanitasi, drainase, jaringan listrik, ruang terbuka, perumahan, pasar, bangunan-bangunan pelayanan publik, sekolah dan sebagianya. Kapital individu, antara lain meliputi pendidikan, kesehatan kemampuan dan keterampilan. Kapital sosial, antara lain meliputi koneksitas dalam suatu komunitas-cara manusia berinteraksi dan berhubungan dengan lainnya. Dalam skala lebih luas, sekelompok manusia membentuk organisasi, baik organisasi sukarela, bisnis melalui perusahaan maupun pemerintah dan sebagainya, termasuk berbagai sistem sosial yang ada, termasuk kebijakan pembangunan kota.
Sedangkan kapital lingkungan alam meliputi sumber daya alam, pelayanan ekosistem dan estetika alam. Sumber daya alam adalah apa saja yang diambil dari alam sebagai bagian dari bahan dasar yang dipakai untuk proses produksi. Pelayanan ekosistem antara lain berupa kemampuan tanah untuk budidaya tanaman yang bisa memberikan bahan makanan, bahan untuk pakaian dan sebagainya.
8. Faktor Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam hal pencapaian pekerjaan dan pendapatan. Meskipun begitu, pendidikan sangat ditentukan oleh pendidikan itu sendiri dan pekerjaan orang tua untuk mampu menyekolahkan anak mereka pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini berarti perbedaan latar belakang budaya dan sosial ekonomi (pendidikan dan pekerjaan) orang tua tidak hanya berpengaruh terhadap pendidikan anak. tetapi juga untuk pencapaian pekerjaan dan pendapatan mereka. Sedangkan faktor lain seperti : tempat tinggal, agama, status perkawinan dan status migrasi, serta umur sangat kecil pengaruhnya terhadap pencapaian pekerjaan dan pendapatan.
Banyak kaum migran tidak bisa bekerja dengan standar-standar yang tinggi. Sementara persaingan untuk mencari lapangan kerja sangat tinggi dan kesemuanya dituntut dengan tingkat propesionalisme dan tingkat pendidikan pula yang harus dapat bersaing dengan orang lain. Dilain pihak kota-kota di Indonesia memiliki kelebihan jumlah tenaga kerja yang belum dapat tersalurkan baik yang memiliki pendidikan tinggi maupun mereka yang sama sekali tidak memiliki skill dan keterampilan yang tinggi untuk bisa bertahan pada jalur formal. Elemen lain yang juga menentukan adalah tidak adanya lapangan kerja yang disiapkan oleh pemerintah. Dampak dari akumulasi kejadian tersebut memunculkan angka pengangguran yang setiap tahunnya semakin bertambah.
31
BAB IIIURBAN SPACE, MALL,
CITY WALK DAN PKL
Ruang Hijau Kota (Ruhiko) atau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) dengan unsur vegetasi yang dominan. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan karakter public space, urban space dan open space serta elemen rancang kota lainnya.
3.1. Keterkaitan Public Space, Urban Space dan Open Space
Secara umum public space dapat didefinisikan dengan cara membedakan arti katanya secara harfiah terlebih dahulu. Public merupakan sekumpulan orang-orang tak terbatas siapa saja, dan space atau ruang merupakan suatu bentukan tiga dimensi yang terjadi akibat adanya unsur-unsur yang membatasinya (Ching, 1992). Unsur-unsur tersebut berupa bidang-bidang linier yang saling bertemu yaitu, bidang-bidang dasar/alas, bidang-bidang vertical dan bidang-bidang penutup (atap). Unsur-unsur di atas dapat dibentuk secara alami atau buatan. Bidang-bidang tersebutlah yang kemudian membentuk volume dari ruang tiga dimensi.
Dalam arsitektur, ruang-ruang yang terjadi dibatasi dengan adanya bidang lantai, dinding-dinding dan langit-langit atau atap yang kemudian membentuk ruang interior jika kita berada di dalamnya. Sedangkan pada ruang eksterior minimal terbentuk oleh dua bidang yang saling bertemu, biasanya bidang dasar dan vertical
32
untuk menciptakan kesan akan adanya suatu ‘ruang‘ sehingga orang yang ada di sekitarnya dapat merasakan adanya ruang tersebut (Snyder, 1986)
Berdasar pengertian di atas dapat didefinisikan bahwa public space merupakan suatu ruang yang terbentuk atau didesain sedemikian rupa sehingga ruang tersebut dapat menampung sejumlah besar orang (publik) dalam melakukan aktifitas-aktifitas yang bersifat publik sesuai dengan fungsi public space tersebut. Menurut Sudibyo (1981) publik yang menggunakan ruang tersebut mempunyai kebebasan dalam aksesibilitas (tanpa harus dipungut bayaran / gratis / free).
Sedangkan menurut Daisy (1974), berdasarkan pemilikannya Public space dapat diklasifikasikan berdasarkan dua jenis :
a. Public Space yang merupakan milik pribadi atau institusi yang dipergunakan oleh publik dalam kalangan terbatas. Misalnya halaman bangunan perkantoran, halaman sekolah atau mall shooping centre.
b. Public Space yang merupakan milik publik dan digunakan oleh orang banyak tanpa kecuali. Misalnya jalan kendaraan, jalan pedestrian, arcade, lapangan bermain, taman kota dan lain lain.
Pada bagian lain dikemukakan bahwa berdasarkan tempatnya, Public Space dapat dibedakan menjadi :
33
a. Public Space di dalam bangunan (indoor public space)
b. Public Space di luar bangunan (outdoor public space)
Public space di luar bangunan yang merupakan milik perorangan atau institusi biasanya berkaitan erat dengan fungsi bangunan di sekitarnya dan bertujuan untuk memberikan keleluasaan aksesibilitas bagi para pengguna terhadap fungsi-fungsi tersebut. Sedangkan public space di luar bangunan yang merupakan milik publik, mempunyai kaitan yang lebih fleksibel dengan lingkungan sekitarnya dan tidak mengarahkan pada suatu fungsi tertentu saja.
Public Space di luar bangunan, secara fisik visual biasanya berupa ruang terbuka kota sehingga biasa disebut dengan istilah urban space.
Ruang terbuka di luar bangunan terbentuk akibat adanya batasan-batasan fisik yang dapat berupa unsur-unsur alam dan unsur-unsur buatan / material kota (urban mass), agar tercipta suatu ruang yang dapat mewadahi aktifitas-aktifitas publik di luar bangunan dan juga mewadahi aliran pergerakan publik dalam mencapai suatu tempat atau tujuan.
Menurut Spreiregen (1965), jika ruang tersebut pembatasnya didominasi oleh unsur alam (natural), maka ruang yang terbentuk disebut open space. Sedangkan jika material pembatasnya didominasi oleh unsur buatan (urban mass), maka ruang yang terbentuk disebut urban space. Urban space yang juga memiliki
karakter open space, biasanya juga disebut dengan istilah urban open space.
Namun demikian menurut Krier (1979), jika kita bisa mengabaikan kriteria estetis, maka pengertian tentang ruang kota cenderung mencakup semua ruang yang terletak di antara gedung-gedung dan bangunan lain. Ruang ini dibatasi secara geometris oleh perbedaan ketinggian. Kejelasan karakteristik dan estetislah yang memungkinkan kita menyerap ruang-ruang luar ini sebagai urban space / ruang kota.
Persimpangan jalan membentuk Urban Space
Open Space di depan
Stasiun Tawang, Semarang
Gambar 3.1 Urban Open Space
Sumber: dari berbagai sumber
34
35
3.1. Jenis Urban Space
Pada skala urban, public space dapat berupa jalur sirkulasi yang mewadahi pergerakan orang atau berupa taman-taman kota yang sifatnya sangat publik. Pada dasarnya orang-orang melakukan aktifitas pada public space ini adalah untuk berinteraksi satu sama lain walaupun pertemuan diantara mereka sifatnya insidental.
Menurut bentuk dan aktifitas yang terjadi pada urban space, Linch (1987) mengkategorikannya menjadi 2, yaitu lapangan (square) dan jalur / jalan (the street).
Ruang kota, baik berupa lapangan maupun koridor / jaringan, merupakan salah satu elemen rancang kota yang sangat penting dalam pengendalian kualitas lingkungan ekologis dan sosial (Shirvani, 1985). Namun pada kenyataannya, dewasa ini semakin terdesak oleh kepentingan ekonomi. Fungsi ekonomi lahan makin mengukuhkan dominasinya, jauh meninggalkan fungsi-fungsi sosial dan kepentingan umum (Jayadinata, 1992). Padahal dalam jangka panjang keberadaan public space sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi perkotaan. Makin luas urban open space di kota, makin banyak orang yang berkumpul pada simpul / node tersebut dan makin tinggi gedung-gedung di sekelilingnya (nilai ekonomi lahan makin tinggi sehingga intensitas penggunaan lahan makin tinggi pula).
3.1.1. Lapangan (Square)
Kategori ruang kota ini merupakan kategori tertua dan seringkali memiliki makna simbolis, religius, budaya maupun makna
politis yang kuat. Ruang kota ini memiliki karakter statis, berperan sebagai daerah pemberhentian dari satu ruang ke ruang lain. Fungsi yang sesuai untuk ruang kota jenis ini adalah kegiatan komersial (pasar) dan aktivitas budaya (civic activity).
Urban space skala kota berbentuk square seringkali merupakan pusat orientasi kawasan. Square ini memiliki pola / lay out space yang bervariasi, sesuai jenis kegiatan yang ditampungnya serta fungsi makro dari public space itu sendiri. Apakah merupakan space untuk sarana rekreasi keluarga, lapangan OR, tempat penyelenggaraan upacara (seremonial) hingga simbol kewibawaan kawasan atau pemerintahan.
Gambar 3.2.
Bundaran Besar Palangka Raya sebagai
Square Urban Space
Sumber: dokumen pribadi
3.1.2. Jalanan (the street) dan Mall
Kategori ini memiliki karakteristik fungsional yang lebih kuat di banding kategori pertama. Aktifitas di ruang ini sangat dinamis, sehingga kualitas visual hanya dilihat sepintas. Kategori ini lebih tepat dipandang sebagai suatu jaringan ruang yang menghubungkan satu ruang dengan ruang lainnya. Bentuk kongkrit dari ruang ini sebagian besar berupa jalan raya untuk kendaraan bermotor dan trotoar untuk pedestrian / pejalan kaki di sisi jalan raya.
36
(a) (b)
(c)
Gambar 3.3
Linear Urban Space berupa (a) sungai,
(b) jalan menuju square urban space, dan (c) Perimpangan jalan layang, tanpa perancangan urban space, akan cenderung menjadi
lost of space.
Sumber: dari berbagai sumber
3.2. Fungsi Urban Space
Fungsi urban space bisa beraneka ragam tergantung jenis aktifitas yang dapat ditampung di dalamnya. Suatu taman dirancang sebagai suatu tempat rekreasi. Kegiatan yang selanjutnya terjadi di sana bisa lebih meluas. Pengunjung taman tidak sekedar
37
38
melakukan aktifitas rekreasi saja melainkan juga dapat melakukan interaksi dengan orang lain. Orang datang ke taman juga ada yang hanya untuk menyendiri.
Menurut Sukada (2004), urban space merupakan wadah bagi masyarakat kota untuk mengekspresikan diri. Bentuk ekpresinya bisa bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan aktifitasnya. Fungsi urban space dapat berubah seiring dengan perubahan waktu. Fungsi-fungsi tersebut antara lain :
a. Sebagai sarana prasarana untuk menampung pergerakan orang dan barang dari satu tempat ke tempat yang lain.
b. Merupakan akses ke suatu bangunan. Bisa berupa prasarana transportasi kendaraan bermotor maupun pejalan kaki.
c. Sebagai jalan pintas dari suatu bangunan ke bangunan yang lain. Jalan pintas itu dapat berupa taman, lorong, yang menembus bangunan atau jembatan penghubung antara suatu fungsi ke fungsi yang lain.
d. Sebagai sarana untuk menampung kegiatan yang bersifat rekreatif atau santai, baik kegiatan yang aktif maupun pasif.
e. Sebagai sarana pendidikan.
f. Tempat terjadinya kontak sosial yang bersifat informal. Kontak sosial itu dapat terjadi karena adanya kecenderungan orang untuk melihat dan dilihat.
g. Tempat mengekspresikan diri (termasuk unjuk kebolehan) untuk memperoleh kepuasan aktualisasi maupun penghargaan dari orang lain, seperti yang biasa dilakukan oleh para kawula muda. Mereka biasa menunjukkan gaya berpakaian, gaya
berdandan, model rambut, kemampuan berolah tubuh, kemahiran ber “skater ria” dan sebagainya.
h. Adanya hubungan saling ketergantungan antara orang yang menjual satu komoditi dengan orang yang membutuhkan komoditi tersebut.
i. Adanya kebutuhan orang akan informasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
j. Sebagai tempat berorientasi, artinya adalah tempat orang merencanakan apa yang dilakukan dan harus kemana harus pergi untuk mencapai tujuannya.
k. Sebagai sarana untuk mengumpulkan dan mewadahi orang dalam jumlah yang besar beserta aktivitasnya. Public space sangat efektif untuk menampung aktifitas politik seperti kampanye, demonstrasi, dan sebagainya.
39
(a) (b)
Gambar 3.4
Beberapa fungsi urban space: (a) PKL di Kompleks Gelora Manahan Solo
belum reloka Aktifi
ilmingt
Sumber: sumber
sesi, dan (b) tas OR di Tubman Garret Riverfront Park –Won Delaware – USA
dari berbagai
40
.3. Sirkulasi dan Perparkiran pada Urban space
Elemen sirkulasi dalam urban design merupakan alat yang
rena dapat
membe
caran, keamanan
dan k
l kegiatan. Fungsi ini
memilik
n hidup tidaknya suatu kawasan, termasuk
urban s
ekitarnya, mendukung kegiatan street level dan
b.
dapat digunakan
3
sangat menentukan struktur lingkungan urban, ka
ntuk, mengarahkan dan mengontrol pola aktivitas dalam kota, termasuk dalam lingkup mikro urban space. Sirkulasi yang baik (dalam konteks transportasi / lalu-lintas kota) memiliki beberapa indikator, antara lain kelan
enyamanan. Keberlanjutan aktifitas urban space juga ditentukan oleh kualitas lalu lintas yang ada. Sebagaimana telah dikemukakan di bagian depan, salah satu fungsi urban space adalah node, simpu
i keterkaitan yang erat dengan pola sirkulasi trasnportasi kota. Oleh karenanya urban space yang memiliki fungsi ini harus memperhatikan aspek aksesibilitas sarana transportasi serta pemberhentiannya (perparkiran), sekaligus memenuhi tuntutan keamanan dan kenyamanan pejalan kaki pengguna jalan maupun urban space tersebut. Perparkiran merupakan unsur pendukung sistem sirkulasi kota, yang menentuka
pace. Perencanaan tempat parkir harus memperhatikan hal-hal berikut: a. Keberadaan strukturnya tidak mengganggu aktifitas di s
menambah kualitas visual lingkungan. Pendekataan program penggunaan berganda dengan cara time sharing. Satu lokasi parkir
41
c.
an kaki. Sistem
3.4. Sig
Street Furniture atau perabot jalan / taman merupakan
gan aktifitas di jalan atau
taman.
mbentuk
kesan
tuk dan
warnan
secara bergantian untuk beberapa lembaga. Misalnya, pagi untuk parkir karyawan perkantoran, pada malam hari atau pada waktu hari libur area parkir tersebut dapat digunakan oleh pengguna urban space. Lokasi kantong parkir seyogyanya ditempatkan pada jarak jangkau yang layak bagi para pejal
perletakan parkir diharapkan dapat secara maksimal mempersingkat jarak jalan kaki menuju jalur pedestrian. nage dan Street Furniture
perabot yang penting bagi kelangsun
Perabot tersebut berupa lampu penerangan jalan kendaraan bermotor dan pejalan kaki, rambu lalu lintas, halte, papan iklan / baliho/ billboard, telepon umum, bangku-bangku (siting group), papan reklame, tempat sampah, bollars, dan sebagainya. Bersama-sama dengan signage / papan reklame / baliho / billboard, desain dan penataan street furniture akan me
place dan mendukung identitas kawasan. Guna menciptakan kriteria fungsional bagi signage atau papan-papan reklame adalah dengan mengatur ukuran, ben
ya sehingga dapat dilihat oleh sasaran penerima informasi. Sasaran ini bisa pejalan kaki atau pengendara kendaraan bermotor. Oleh karenanya desainnya harus memperhatikan slaka pergerakannya, cepat atau lambat.
42
Gambar 3.5
Papan reklame di Jalan Malioboro (kiri) dan
di “Ciwalk” Bandung (Kanan)
Sumber : Khaliyah, 2006
)
Sumber: dari berb
Gambar 3.6 Beberapa Street furniture (halte, tempat duduk, jam, lampuagai sumber
43
3.5.
Selain berbagai pertimbangan yang telah dikemukakan di
dalamnya,
dan John Montgomery (1998) dalam Carmona (2003), kesa
Perancangan Urban Space
depan, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan lebih lanjutdalam pera
ncangan urban space. Menurut Nurhasan (1999), hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan public space, diantaranya adalah masalah keamanan, kenyamanan serta keindahan visual bagi para pengguna serta pemeliharaannya. Danisworo (1994) menyatakan perancangan urban space menyangkut dua aspek yaitu aspek fungsional dan aspek ekologis. Aspek eko
logis penting diperhatikan untuk menjaga agar keseimbangan ekosistem lingkungan binaan tidak terganggu. Bentuk dan sifat ruang terbuka yang bersifat fungsional ditentukan oleh sifat dari aktivitas manusia yang berlangsung di
oleh karenanya harus dibentuk berdasarkan konsep sosilogis yang disusun secara matang. Perencanaan ruang terbuka yang berhasil adalah ruang terbuka yang mendukung kegiatan yang bervariasi, seperti area pejalan kaki, rute sepeda, area historis, tepi pantai dan keterkaitan struktur ruang terbuka yang mengkordinasikan area kultural, komersial dan pemerintahan. Berbagai pendekatan di atas diharapkan akan mendukung citra kota (image of the city) lebih kuat. Menurut John Punter (1991)
n tempat (sense of place) akan diperoleh dari jalinan penataan seting fisik (form), aktifitas yang terjadi serta citra yang ditimbulkan. Lihat gambar 3.7.
Gambar 3.7
Pembentuk Kesan ”Place”
Sumber: Carmona, 2003.
Untuk pengkay kaitan antara activity,
physical setting dan m uat Sense of Place,
silahan
3.7.1. Gambaran Suasana
6), digambarkan beberapa
City Walk sebagaimana uraian di
bawah
aan materi tentang keter
eaning dalam memperk
baca buku Public Paces Urban Spaces – The Dimension of Urban Design oleh Mathew Carmona, halaman 132 – 141. 3.6. City Walk, Pedestrian dan Mall
Sebagaimana ditulis Fitrianto (200
suasana yang terkait dengan
ini. City Walk biasanya berupa koridor ruang terbuka untuk pejalan kaki yang menghubungkan beberapa fungsi komersial dan ritel yang ada. Koridor ini biasanya terbuka dan relatif cukup lebar, berkisar 2 - 6 meter, tergantung konsep jenis kegiatan yang akan diciptakan.
44
45
g berkembang saat itu. Tempat nongkrong di kafe dan
kan. Ruang ini juga
n kawasan berair, seperti kolam ikan atau air mancur.
menghadirkan konsep City
alk p
nan tua
Aktivitas di City Walk biasanya lebih ke arah gaya hidup yang sedan
restoran sampai toko yang menjual pernak-pernik yang berkaitan dengan gaya hidup seperti barang teknologi, tempat bermain anak, olahraga, bioskop, hingga barang kerajinan. Persimpangan koridor City Walk sering digunakan sebagai ruang terbuka untuk panggung pertunju
berfungsi sebagai penghubung atau penyatu massa bangunan yang biasanya terpecah. Fungsi kegiatan ini sangat membantu dalam mengundang pengunjung pada waktu tertentu, di akhir minggu minggu. Di ruang terbuka ini juga disediakan tempat untuk duduk-duduk da
Permainan ornamental graphic yang cukup baik juga membantu mengangkat suasana ruang City Walk. City Walk sebenarnya bukanlah barang baru. Beberapa tempat di mancanegara sudah sering
Wada sudut ruang kotanya. Lahan kota yang kurang hidup dapat disulap menjadi kawasan ritel dengan suasana khas. Di Singapura misalnya, banyak tempat yang seperti ini, seperti Clark Quay, Far East Square, Orchard Road dan Bugis Junction. Konsep City Walk di Singapura sering digunakan untuk menghidupkan kawasan kota tua. Beberapa blok bangu
diperbaiki dan dimanfaatkan sebagai area ritel yang disatukan dengan kawasan pedestrian bebas kendaraan yang terpadu.
46
tempat
i sela
emiliki perjalanan historis
ruang terbuka yang aman dan
nyama
ghidupkan serta mengangkat kawasan
alk , Pedestrian dan Mall
Dalam bahasa baku urban design, city walk dikenal dengan
Pedos,
Ruang terbuka ini menjadi tempat alternatif yang nyaman untuk sekadar duduk-duduk, makan, atau bersantai. Tempat-
inlu ramai pada sore hari sesudah jam kerja. Pada hari libur bahkan sudah ramai sejak siang hari. Dengan konsep City Walk, pemerintah setempat dapat mengubah kota tua yang mati menjadi kawasan yang aktif dan muda kembali. Revitalisasi bagian kawasan kota tua adalah salah satu strategi pengembangan kota yang m
tersendiri. Konsep City Walk membantu menghadirkan ruang terbuka dan fungsi baru yang beradaptasi dengan baik serta tetap memperhatikan situasi seputarnya. Perkembangan kota yang bergulir cepat memang terkadang melupakan kebutuhan warga akan
n sehingga alternatif ruang komersial menjadi ruang terbuka publik tidak dapat dihindari. Nantinya konsep City Walk juga diharapkan dapat menjadi alternatif dalam upaya men
kota yang sudah pudar atau konservasi kota tua di kota-kota Indonesia yang lain. 3.7.2. Definisi City W
istilah mall atau pedestrian. Pedestrian berasal dari kata latin
yang artinya kaki. Pejalan kaki sebagai istilah aktif, adalah orang yang bergerak atau berpindah dari suatu tempat titik tolak ke tempat tujuan tanpa menggunakan alat yang bersifat mekanis (kecuali kursi roda). Jalur pedestrian atau jalur pejalan kaki, adalah tempat atau
47
perlu
pemb
tem jalan dengan belokan-belokan dan dirancang
khus
:
ncanaan teknis
jalur khusus bagi para pejalan kaki. Pedestrian dapat berupa trotoar, alun-alun dan sebagainya. Baik Shivani (1985) maupun Linch (1987) mengemukakan bahwa pedestrian bagian dari public space dan merupakan aspek penting sebuah urban space, baik berupa square (lapangan-open space) maupun street (jalan-koridor). Jika jalan dirancang sebagai public space dengan memberikan porsi yang dominan bagi aktifitas pedestrian, maka
atasan fungsi transportasi kendaraan bermotor. Pengembangan ruas jalan ini dapat menggunakan pendekatan city walk atau mall. Mall berarti sebuah plaza umum, jalan-jalan umum atau sekumpulan sis
us untuk pejalan kaki. Pengertian lain adalah sebagai suatu area pergerakan (linier) pada suatu area pusat bisnis kota (CBD) yang lebih diorientasikan bagi pejalan kaki, berbentuk pedestrian dengan kombinasi plaza dan ruang-ruang interaksional. Mall juga merupakan salah satu tempat orang berjalan dengan santai yang disebelah kanan kirinya terdapat deretan toko-toko serta mudah dicapai dari tempat parkir kendaraan pengunjung. Berdasarkan bentuknya, mall terdiri dari tiga jenis dengan keuntungan dan kerugiannya masing-masing, yaitu
A. Open mall (mall terbuka), adalah mall tanpa pelingkup, keuntungannya adalah kesan luas dan pere
yang mudah sehingga biaya lebih murah. Kerugiannya adalah kendala pada climatic control berpengaruh terhadap kenyamanan dan kesan kewadahan kurang.
48
B.
ang
C.
utup. Biasanya berupa mall tertutup dengan
Ber
(1987) m njadi:
uk kendaraan, dan diubah
Contoh Full Mall
Sumber : www.wikipedia.org
Enclosed mall (mall tertutup), adalah mall dengan penutup atap. Keuntungannya berupa kenyamanan, sed
kerugiaannya adalah biaya yang mahal dan kesan ruang kurang luas. Integrated mall, adalah penggabungan antara mall terbuka dan mall tert
akhiran mall terbuka. dasarkan dari cara pola penataannya, menurut Rubenstein all dapat dibedakan me
A. Full Mall, diperoleh dengan menutup suatu jalan yang sebenarnya difungsikan unt
menjadi jalan untuk pejalan kaki atau plaza dengan jenis perkerasan yang berbeda, dan dilengkapi dengan pepohonan, penerangan dan elemen ruang luar lainnya. Gambar 3.8
B. Transit Mall, dibuat dengan memindahkan kendaraan
pribadi dan kendaraan angkutan dari jalan yang sudah
ada, dan hanya mengizinkan sarana transportasi umum seperti bus, taxi dan kendaraan umum lainnya pada jalan tersebut. Parkir ditepi jalan (on-street parking) dilarang, jalur pejalan kaki diperbesar dan dilengkapi juga elemen
49
C.
B
sebagai
plaza untuk memberi nama pusat
ruang luar seperti paving, bangku dan tempat duduk, pohon-pohon, pencahayaan buatan, patung, air mancur. Semi Mall. Pada mall jenis ini, jumlah lalu lintas dan kendaraan parkir dikurangi, jalur untuk pejalan kaki
diperluas serta dilengkapi dengan taman dan pepohonan, penerangan dan elemen luar lainnya. erdasar berbagai tulisan di atas, tidak jumpai definisi mall pusat perbelanjaan. Jika sekarang banyak pusat
perbelanjaan yang diberi nama mall (Solo Grand Mall, Ciputra Mall, Supermall Karawachi dan sebagainya), adalah suatu upaya dari pihak pengelola pusat perbelanjaan untuk memberikan gambaran suasana mall (yang sesungguhnya) pada pusat perbelanjaan tersebut. Suasanan tersebut dibentuk dengan mendesain hall utama sebagai pusat interaksi . Hall ini biasanya berbentuk atrium dan cenderung memanjang. Pada kanan kiri hall berjajar pertokoan / retail-retail. Pada hall inilah orang berlalu-lalang (seperti outdoor pedestrian) sambil menikmati barang-barang yang dijajakan. Suasana ini mirip dengan pedestrian di jalan raya dengan deretan pertokoan di kanan-kirinya. Sebelum menggunakan mall sebagai brand image, dahulu digunakan nama plasa /
perbelanjaan (Simpang Lima Plaza, Senayan Plaza, Ratu Plaza dan sebagainya). Saat ini, beberapa nama pusat perbelanjaan tidak lagi menggunakan nama mall, telah bergeser dengan nama “square”, misal Jebres Square, Cendana Soba Square, Solo Square dan sebagainya.
50
sat perbelanjaan menunjukkan bahwa pedestrian
Sebagaimana sistem sirkulasi lainnya, aktivitas pedestrian
yang dihubungkan oleh area tersebut.
Keberada rgerakan pada
alk atau street mall
Sum 06
Penggunaan nama plaza atau plasa, mall dan square pada beberapa pu
merupakan tempat yang menarik dan mampu mengembangkan beragam aktifitas, baik sosial maupun ekonomi. 3.7.3. Magnet atau Anchor
akan terjadi jika ada kegiatan
Kegiatan utama yang mendorong orang berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain sebagai pusat kegiatan biasa disebut dengan istilah magnet atau anchor. Magnet bisa berupa pusat perbelanjaan, perkantoran, pelayanan umum seperti perpustakaan, museum, gedung bioskop dan sebagainya. Namun demikian faktor penarik ini juga bisa berupa elemen-elemen arsitektur kota seperti relief bangunan, perkerasan, penataan lampu, pedestrian, penataan lampu, penataan tanaman, penataan tempat duduk dan sebagainya. Selain aspek fisik, aktifitas yang ada di sepanjang pedestrian juga mampu menjadi pendorong aktifitas City Walk seperti pedagang kaki lima, pertokoan dan aktifitas budaya/tradisional (Shirvani, 1985; Danisworo, 1994).
Gambar 3.9 an Anchor mendorong orang untuk melakukan pearea pedestrian, city
w
ber:Absori, 20
anchor
secondry anchor
street mall anchor
secondry anchor
land scape
51
3
Jalur atau ar ay - city walk)
n penting dalam urban design karena berperan
anan
pedestrianisasi dalam perencanaan dan perancangan ruang kota,
ehat, sehingga mengurangi kerawanan kriminalitas,
gan
c.
kampanye,
is di lingkungan
f.
udara dan suara.
.7.4. Manfaat ea pn - pathw
ejalan kaki (pedestria
merupakan eleme
sebagai sistem penghubung dan sistem pendukung vitalitas ruang-ruang kota. Fungsi jalur pedestrian pada daerah perkotaan adalah: a. Sebagai fasilitas penggerak bagi para pejalan kaki, b. Sebagai media interaksi sosial,
c. Sebagai unsur pendukung, keindahan dan kenyam
kota.
Beberapa pengalaman positif dari penerapan konsep
antara lain: a. Pedestrianisasi dapat menumbuhkan aktifitas yang s
b. Pedestrianisasi dapat merangsang berbagai kegiatan ekonomi, sehingga dapat mendukung perkemban
kawasan bisnis yang menarik, Pedestrianisasi sangat menguntungkan sebagai ajang kegiatan promosi, pameran dan
d. Jalur pedestrian merupakan daerah yang menarik untuk kegiatan sosial, berekreasi dan lain-lain,
e. Pedestrianisasi mampu menghadirkan suasana dan lingkungan yang spesifik, unik dan dinam
pusat kota, Berdampak positif terhadap upaya penurunan tingkat pencemaran
52
3.7.5. Per
ecara teknis perencanaan pedestrian pada lokasi-lokasi
n sirkulasi kendaraan bermotor,
raya
b.
i
c.
encanaan Pedestrian
S
yang berhubungan langsung denga
harus memperhatiian keamanan dan kenyamanan kedua kelompok tersebut. Transportasi kendaraan bermotor diharapkan lancar, aman dan nyaman, sedangkan pejalan kaki diharapkan juga merasa aman, nyaman dan tidak terganggu oleh kebisingan dan udara yang tercemar asap kendaraan bermotor. Streetscape merupakan pedekatan yang baik digunakan dalam perencanaan kawasan ini. Perencanaan kawasan kota dengan pendekatan streetcsape, harus memperhatikan beberapa hal, antara lain:
a. Meletakkan fungsi dasar ruang sebagai jaringan sirkulasi atau jalan, baik untuk kendaraan bermotor (jalan
dan jalur lambat) maupun untuk pejalan kaki (trotoar), Jalan raya memiliki klasifikasi fungsi yang berjenjang (arteri, kolektor atau lokal). Masing-masing klasifikasi d
atas memiliki batasan kecepatan, jenis kendaraan yang lewat, batasan akses dari arah samping, dan sebagainya (Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan). Tidak terpenuhinya persyaratan jalan di atas mengganggu kelancaran dan kenyamana lalu lintas. Pada skala yang lebih makro, juga akan mempengaruhi perputaran ekonomi dan pembangunan pada umumnya. Kunci perencanaan jalur City Walk adalah keseimbangan antar jalur pejalan kaki dan jalur kendaraan, yaitu
53
d.
ekati oleh
e.
aktifitas yang berkembang di
f.
, lampu taman, tempat
Seh
perancang t
keseimbangan penggunaan elemen pejalan kaki untuk mendukung ruang publik yang hidup dan menarik, serta memungkinkan kegiatan pencapaian, pelayanan jasa dan kebutuhan pribadi berlangsung dengan optimal. Keseimbangan pribadi menyangkut interaksi antara pejalan kaki dan kendaraan, dimana faktor keselamatan memegang peranan penting (Shirvani, 1985). Banyaknya orang yang berkumpul di suatu pedestrian merupakan potensi pasar yang selalu did
pedagang, termasuk di dalamnya PKL. PKL memiliki karakter khusus yang terkait dengan aspek ekonomi, sosial dan ketertiban umum. Pada banyak kasus, PKL cenderung mengokupasi public space secara permanen (Fosterharoldas, 2004). Penting dilakukan penataan dan pengaturan secara berkelanjutan terhadap
area pedestrian. Karakter pejalan kaki memiliki korelasi yang tinggi terhadap karakter PKL yang muncul di kawasan tersebut (Indrawati, 2005). Jika tidak diantisipasi sejak dini, perkembangan PKL dapat mengarah pada kekumuhan kota. Pejalan kaki dan kendaraan bermotor harus dilengkapi street furniture seperti lampu jalan
duduk, tempat sampah, bollard parkir, dan sebagainya. ubungan dengan pentingnya fungsi pedestrian dalam an kota secara umum, maka tema pedestrian dapa
54
dikemb
Kawasan serta baca buku ”Finding Lost
Space”
n (pendekatan linkage), antara lain
dapat d
pakah sebagai simpul kota /
b.
di
c.
lainnya, seperti style bangunan, langgam
Ran ak dan
fungsi yang jelas terhadap tata ruang kota (pendekatan figure
ground
ace) dan ruang tertutup / bangunan (built up area).
angkan lebih jauh dengan memperhatikan teori urban design yang mendasarkan pada konsep Lingkage, Figure Ground dan Place (Trancik, 1986). Terkait dengan 3 teori di atas, pelajari lagi mata kuliah Perencanan Kota dan
karya Roger Trancik. City Walk akan tercipta dengan baik jika memiliki keterkaitan dengan pusat-pusat kegiata
itempuh dengan dengan cara: a. Menjadikan kawasan tersebut sebagai bagian penting dalam sistem citra kota (a
node, jalan / pathway atau tetenger / tugu / landmark). Menjadikan kawasan tersebut sebagai jalur sirkulasi kota (kendaraan bermotor maupun pejalan kaki) yang menja
bagian penting dalam kegiatan atau kunjungan wisatawan. Secara visual memiliki hubungan yang erat dengan elemen kota
street furniture, karena vegetasi dan sebagainya. cangan pedestrian seyogyanya memiliki tata let
). Untuk mempertegas figure ground, kawasan pedestrian diharapkan: a. Memiliki kejelasan antara ruang terbuka (urban open sp
55
pun
Gambar 3.10
Figure ground yang jelas pada
Kaw pang Lima Semarang
Sumber: G akses Juli
rancangan pedestrian dengan karakter
merupakan upaya dalam konteks
mengh
gan, olah raga, atraksi wisata budaya dan
b.
arna, skala, bentuk, tekstur, vegetasi,
c.
d. rtentu.
b. Membentuk konfigurasi ruang yang jelas (memiliki pembatas yang jelas, baik berupa urban mass mau
natural materials).
asan Sim
oogle Earth (di
2007)
Kesesuaianlingkungan setempat (kontekstual)
adirkan kesan tempat (konsep place). Kesan ini dapat dihadirkan dengan: a. Memiliki karakter aktifitas atau fungsi tertentu (perdagan
sebagainya). Memiliki karakter arsitektural yang khas (style / gaya) bangunan, w
signage, street furniture). Memiliki karakter sound (suara-suara) yang khas. Memiliki karakter aroma te
56
Gambar 3.11
Melaui desain signage yang tepat, kesan place Kawasan Pecinan
sangat kental di Kya-Kya Kembang Jepun Surabaya
Sum 005
Se dapat
ikembangkan lebih lanjut dengan:
stur bangunan, tempat duduk,
b.
ekuatan, kesesuaian dan keindahan)
d. upun
ber : Istanto, 2
lain ketiga s, rancangan
hal utama di ata
d
a. Penanganan secara arsitektural melalui pengolahan bentuk, warna dan tek
penanda, pagar taman / pot, lampu taman dan sebagainya. Penggunaan material yang sesuai (memenuhi kriteria ketahanan / k
c. Keserasian dengan kawasan. Nyaman (dalam konteks fisiologis, fisik ma
psikologis).
57
murah, tidak cenderung di salahgunakan,
Dal
kaki harus
araan bermotor (jalur tersendiri).
tak fisik dengan pejalan kaki lain.
tidur dan
e.
Dalam perencanaan pedestrian harus memperhatikan
standa . Beberapa
macam
njung yang biasanya dilakukan pada saat
ti melihat-lihat obyek dagangan.
e. Memperhatikan fungsi sosial ekonomi (mudah perawatan,
dan sebagainya). am aspek teknis, perancangan jalur khusus untuk pejalan memperhatikan:
a. Penghindaran kemungkinan pejalan kaki berbenturan fisik dengan kend
b. Pedestrian harus didukung oleh tempat orientasi (point of interest).
c. Kapasitas dan dimensi ruang mencukupi sehingga tidak terjadi kon
d. Peniadaan detail bangunan yang berbahaya, seperti lubang sanitasi, besi penanda, polisi
sebagainya. Mempunyai lintasan langsung dengan jarak tempuh terpendek.
f. Didukung dengan pepohonan yang rindang.
r gerak pejalan kaki maupun pengguna lainnya
gerak yang dilakukan oleh beberapa pengguna jalan diuraikan di bawah ini. a. Gerak stasioner Gerak pengu
seseorang berhen
58
b. Gerak mobiler
ngunjung yang berpindah dari obyek satu ke
ti dengan alasan tertentu. Gerak
4) area atau ruang yang sesuai
Gerakan pe
obyek lain yang diama
tersebut antara lain berupa: 1) Gerakan pada jalur yang diarahkan oleh suatu tanda atau bentuk
2) Gerakan menuju pada sesuatu yang menyenangkan dan menarik
3) Gerakan menuju pada sesuatu perubahan Gerakan menuju obyek,
dengan kebutuhan atau selera
59
Tabel 3.1
Kualitas Ruang Gerak Jalur Pejalan Kaki Stasioner Dan Mobiler
Kualitas
Jarak antara(m2)
Luas per orang (m3)
Deskripsi
Unimpeded
1,2
1,2
Sirkulasi antar pejalan kaki memungkinkan tanpa saling mengganggu
Impeded
1-1,2
0,9-1,2
Sirkulasi antar pejalan kaki yang berdiri kadangkala terhalangi
0,7-0,9
Nyaman untuk berdiri tanpa pengaruhi yang lain, tetapi akan mengganggu apabila ada diantaranya yang berjalan
Constrained
0,6-0,9
0,3-0,7
Berdiri tidak bersentuhan satu sama lain tapi kurang nyaman untuk berdiri berdekatan, tetapi sirkulasi yang melalui kumpulan orang sedikit banyak akan terhalang kecuali jika bergerak bersamaan dalam kelompok
Congested
0,6
0,2-0,3
Kontak dengan yang lain tidak dapat dihindarkan, sirkulasi melalui kumpulan orang tidak dimungkinkan
Jammed
0
0,2
Berdiri berhimpitan pergerakan tidak dimungkinkan
Sumber: Vastu, dalam Hidayati 2004
Gambar 3.12
Ruang Gerak Pejalan Kaki
Sumber: Vastu dalam Hidayati 2004
3.8. Aksesibilitas
Berdasarkan Permen PU No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, dinyatakan bahwa dalam merencanakan, dan melaksanakan pembangunan bangunan gedung dan lingkungan, harus dilengkapi dengan penyediaan fasilitas dan aksesibilitas yang memenuhi persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas yang diatur dalam peraturan tersebut.
Perencanaan aksesibilitas harus memenuhi 4 azas utama, yaitu
60
1. Keselamatan, yaitu setiap bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan terbangun, harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang.
61
2. Kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
3. Kegunaan, yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
4. Kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.
Untuk perencanaan urban space, mengacu pada ketentuan untuk Fasilitas umum lingkungan (Ruang terbuka dan penghijauan), meliputi:
a. Ruang terbuka aktif: setiap ruang terbuka yang diperuntukkan untuk umum sebagai tempat interaksi sosial, harus memenuhi pedoman teknis aksesibilitas yang ditetapkan dalam pedoman ini;
b. Ruang terbuka pasif: setiap ruang terbuka yang terjadi dari hasil perencanaan bangunan secara terpadu seharusnya memenuhi seluruh pedoman teknis aksesibilitas yang ditetapkan.
Setiap pembangunan lingkungan di luar bangunan harus memperhatikan pedoman teknis fasilitas dan aksesibilitas pada i. Ukuran dasar ruang / ruang lantai bebas; Jalur pedestrian; Jalur pemandu; Area parkir; Ram; Rambu dan Marka.
62
Perencanaan rambu dan marka memiliki persyaratan sebagai berikut:
a. Penggunaan rambu terutama dibutuhkan pada:
1) Arah dan tujuan jalur pedestrian;
2) KM/WC umum, telpon umum;
3) Parkir khusus penyandang cacat;
4) Nama fasilitas dan tempat;
5) Telepon dan ATM.
b. Persyaratan Rambu yang digunakan:
1) Rambu huruf timbul atau huruf Braille yang dapat dibaca oleh tuna netra dan penyandang cacat lain;
2) Rambu yang berupa gambar dan simbol sebaiknya dengan sistem cetak timbul, sehingga yang mudah dan cepat ditafsirkan artinya;
3) Rambu yang berupa tanda dan simbol internasional;
4) Rambu yang menerapkan metode khusus (misal: pembedaan perkerasan tanah, warna kontras, dll);
5) Karakter dan latar belakang rambu harus dibuat dari bahan yang tidak silau. Karakter dan simbul harus kontras dengan latar belakangnya, apakah karakter terang di atas gelap, atau sebaliknya;
6) Proporsi huruf atau karakter pada rambu harus mempunyai rasio lebar dan tinggi antara 3: 5 dan 1:1, serta ketebalan huruf antara 1: 5 dan 1:10;
7) Tinggi karakter huruf dan angka pada rambu harus diukur sesuai dengan jarak pandang dari tempat rambu itu dibaca.
c. Lokasi penempatan rambu:
2) Penempatan yang sesuai dan tepat serta bebas pandang tanpa penghalang.
3) Satu kesatuan sistem dengan lingkungannya.
4) Cukup mendapat pencahayaan, termasuk penambahan lampu pada kondisi gelap.
5) Tidak mengganggu arus (pejalan kaki dll) dan sirkulasi (buka/tutup pintu, dll).
Beberapa standar Ukuran dan Detail Penerapan Standar dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah ini.
(a)
(b)
63
(c)
Gambar 3.13
(a) symbol aksesibilitas, (b) ruang gerak bagi pengguna kursi roda, dan (c)
standar perletakan rambu sesuai jarak dan sudutt pandang.
Sumber: Permen PU No. 30/PRT/M/2006
Tabel 3.3
Matrik Ketentuan minimum Fasilitas aksesibilitas
64
2. RUANG TERBUKA DAN
PENGHIJAUAN KETENTUAN MINIMUM
Ruang terbuka dan Penghijauan
- Menyediakan jalur pemandu masuk
dan keluar pada ruang terbuka
- Menyediakan ram untuk masuk dan
keluar untuk pengguna kursi roda
3. KETENTUAN PARKIR KETENTUAN MINIMUM
65
3. KETENTUAN PARKIR
KETENTUAN MINIMUM
Bangunan – bangunan lain dimana masyarakat umum berkumpul dalam jumlah besar seperti pusat perdagangan swalayan, departemen store, dan bangunan pertemuan
Tempat duduk untuk pengunjung penyandang cacat atau orang yang tidak sanggup berdiri dalam waktu lama atau area untuk kursi roda harus tersedia secara memadai
Sumber: Permen PU No. 30/PRT/M/2006
Beberapa ketentuan persyaratan pada Ruang Terbuka dan Penghijauan meliputi:
a. jalur pemandu disediakan menuju kelengkapan elemen lansekap/perabot/street furniture antara lain:
1) peta situasi/rambu;
2) kamar kecil/toilet umum;
3) tangga;
4) ram;
5) tempat parkir;
6) tempat pemberhentian/halte bus.
b. jalur pemandu harus berdekatan dengan :
1) kursi taman;
2) tempat sampah;
3) telepon umum.
c. perletakan perabot jalan (street furniure) haruslah mudah dicapai oleh setiap orang.
3.9. PKL sebagai Pendukung Kegiatan (Activity Support)
3.9.1. Definisi dan Klasifikasi PKL
Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang informal yang menempati kaki lima (trotoar – pedestrian) yang keberadaannya
66
tidak boleh mengganggu fungsi publik, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, fisik visual, lingkungan dan pariwisata (Sidharta, 2002; Perda Kotamadya Surakarta No. 8 tahun 1995.
Istilah Pedagang Kaki Lima (PKL) menurut Sidharta (2002) erat kaitannya dengan istilah di Perancis tentang pedestrian untuk pejalan kaki di sepanjang jalan raya, yaitu Trotoir (baca: trotoar). Di sepanjang jalan raya kebanyakan berdiri bangunan bertingkat. Pada lantai paling bawah biasanya disediakan ruang untuk pejalan kaki (trotoir) selebar 5 kaki (5 feet setara dengan 1,5 m). Pada perkembang-an berikutnya para pedagang informal akan menempati trotoir tersebut, sehingga disebut dengan istilah Pedagang Lima Kaki (di Indonesia disebut Pedagang Kaki Lima = PKL).
Berdasar tinjauan di atas PKL tergolong sektor informal. Menurut Wirosandjojo (1985) dalam Harris Koentjoro (1994), sektor informal merupakan bagian dari kegiatan ekonomi marginal (kecil-kecilan), yang memiliki ciri-ciri antara lain (a) Pola kegiatannya tidak teratur, baik waktu, permodalan maupun penerimaan ; (b) Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omsetnya kecil dan diusahakan berdasar hitungan harian; (c) umumnya tidak memiliki tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggalnya; (d) tidak memiliki keterikaitan dengan usaha lain yang besar; (e) umumnya dilakukaan oleh dan melayani masyarakat yang berpenghasilan rendah; (f) tidak membutuhkan keahlian atau ketrampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan dan ketrampilan kerja; (g)
67
umumnya tiap-tiap satuan usaha mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari kerabat keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama; dan (h) tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan dan perkreditan formal (Wirosandjojo, 1985 dalam Koentjoro ,1994).
Selain definisi secara umum, Kota Surakarta telah mendefinisikan PKL secara khusus sebagaimana dimuat dalam Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Pada Bab I Ketentuan Umum, dapat diartikan sebagai berikut:
Pedagang Kaki Lima adalah orang yang melakukan usaha dagang dan atau jasa, ditempat umum baik menggunakan atau tidak menggunakan sesuatu, dalam melakukan usaha dagang. Sedangkan Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima adalah tempat umum yaitu tepi-tepi jalan umum, trotoar dan lapangan serta tempat lain diatas tanah negara yang ditetapkan oleh Walikotamadya Kepala Daerah. Pada bagian selanjutnya ditegaskan bahwa setiap Pedagang Kaki Lima harus bertanggung jawab terhadap ketertiban, kerapian, keindahan, kesehatan lingkungan dan keamanan disekitar tempat usaha.
Pemkot Surakarta belum membuat klasifikasi tentang PKL terkait dengan variasi hak dan kewajibannya. Berdasarkan hasil kajian Hukum tentang PKL yang juga dilakukan oleh Pemkot Surakarta pada tahun 2006, perlu dibuat definisi / batasan dan klasifikasi PKL yang mampu menjadi payung penataan dan
68
pengendalian PKL, baik dalam konteks perkembangan fisik visual perkotaan, ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Namun berdasar hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa klasifikasi sebagai berikut :
Menurut Malik (2005), Indrawati, et.al. (2004), Palupi dan Raharjo (2004), Indrawati (2005) dan Indrawati, et.al. (2007), PKL diklasifikasikan menjadi:
a) Berdasarkan latar belakang ekonominya. Klasifikasi pertama adalah PKL yang benar-benar terpaksa menjadi PKL karena kesulitan hidup. Mereka berdagang dengan warung beroda (dorongan) ataupun bangunan semi permanen di trotoar. Sembari berdagang mereka juga bertempat tinggal di situ, karena tidak ada tempat lain lagi untuk dijadikan tempat tinggal. Kedua, PKL yang berdagang karena masalah ekonomi juga namun mereka telah memiliki tempat tinggal dan simbol hidup modern seperti TV misalnya. Ketiga, PKL yang berdagang karena melihat potensi keuntungan jauh lebih besar dari pada membua toko / warung dibanding jika harus menyewanya. Selain itu juga lebih mudah diakses pembeli.
b) Berdasar jenis dagangan yang dijual, terdiri dari PKL penjual (a) makanan, (b) pakaian, (c) kelontong, (d) peralatan bekas (klitikan) dan sebagainya.
c) Berdasar waktu berdagang, terdiri dari PKL yang berdagang pada pada pagi hingga siang hari, pagi
hingga sore hari, sore hingga malam hari, malam hingga pagi hari, pagi hingga malam hari dan sepanjang hari.
d) Berdasar bangunan tempat berdagang, dapat diklasifikasikan menjadi (a) PKL bergerak / movable / dorongan ; (b) PKL tanpa bangunan seperti PKL oprokan / dasaran / gelaran, (c) PKL dengan bangunan permanen (selalu ada setiap saat, baik bentuknya masih tetap maupun udah berubah) dan (d) PKL dengan bangunan non permanen (bongkar pasang).
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 3.14
Beberapa type bangunan PKL : (a) oprokan, (b) tenda, (c) permanen sebagian, dan (d) permanen seutuhnya.
Sumber: dokumen pribadi
69
70
e) Berdasar luasan bangunan / tempat berdagang (space use), terdiri dari 7 kelompok yaitu PKL dengan luasan 1-3m2, 4-6m2, 7-9m2, 10-12m2, 13-15m2, 16-17m2 dan lebih dari 18m2.
3.9.2. Penyebaran PKL
Terkait dengan sejarah munculnya peristilahan PKL, dalam perkembangan pola penyebaran PKL juga sangat dipengaruhi oleh aktifitas pedestrian. PKL di pedestrian hampir dijumpai pada semua fungsi kawasan, baik dengan fungsi utama perkantoan, pendidikan, kesehatan, perumahan maupun perdagangan. Secara umum, faktor utama pemicu hadirnya PKL adalah pejalan kaki. Jika kemudian pada kawasan perdagangan muncul banyak PKL, karena di kawasan tersebut lebih banyak pejalan kakinya. Demikian pula jika di sekitar area pabrik banyak karyawan yang berjalan kaki, maka di situpun banyak PKL.
Namun demikian bukan berarti kawasan yang sedikit pejalan kakinya akan steril dari PKL. Terdapat beberapa kawasan yang bukan tempat lalu lalang pejalan kaki, tetapi banyak di huni PKL. Sebut saja PKL di Lapangan Banjarsari –Solo (sebelum relokasi ke Pasar Klitikan di Notoharjo). PKL di tempat ini bukan lagi didatangi sambil lalu atau kebetulan lewat, tetapi menjadi tujuan utama perjalanan para pembeli. Kebanyakan mereka datang dengan kendaraan bermotor, baik roda empat maupun roda dua. Meskipun demikian yang datang dengan menggunakan sepeda ”onthel” (kayuh) maupun berjalan kaki, jumlahnya juga tidak sedikit.
71
PKL yang berada di area non pedestrian memiliki karakter yang berbeda dengan PKL yang di area pedestrian. Faktor citra dagangan yang spesifik akan menyebabkan pembeli secara khusus mendatangi kawasan PKL ini. Pembeli ini tidak sekedar berlalu (lewat), tetapi menyengaja datang untuk membeli barang dagangan yang spesifik (Indrawati, 2005).
Berdasarkan Absori et.al. (2006), PKL memiliki dimensi kegiatan yang sangat kompleks, baik terkait dengan aspek ekonomi, teknis, sosial, lingkungan maupun ketertiban umum. Beberapa aspek tersebut antara lain (a) PKL sering menggunakan public space (tempat umum) secara permanen seperti trotoar, jalur lambat, badan jalan, bahu jalan, lapangan dan sebagainya; (b) PKL seringkali mengganggu kelancaran lalu lintas; (c) Lahan yang dimanfaatkan oleh PKL sering bertolak belakang dengan aturan peruntukan lahan perkotaan; (d) Limbah PKL sering mengganggu lingkungan dan kebersihan kota; (e) Keberadaan PKL sering mengganggu ketertiban umum, terutama pemakai jalan dan pemakai bangunan formal di sekitar PKL; dan (f) PKL sangat sulit ditata atau diatur.
3.9.3. PKL dan Kemacetan Lalu Lintas
Jaringan jalan merupakan salah satu pembentuk struktur kota, menjadi aspek penting dalam pembangunan wilayah, ekonomi, sosial dan politik. Melalui fungsinya sebagai sarana transportasi, jaringan jalan memiliki keterkaitan yang erat dengan pola penggunaan lahan perkotaan.
72
Berdasarkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, fungsi jalan terdiri dari jalan arteri, kolektor dan primer. Masing-masing fungsi memiliki karakteristik yang jelas baik ditinjau dari geometri jalan, kecepatan lalu-lintas, jenis kendaraan yang lewat, jumlah jalan masuk dan sebagainya.
Tiap ruas jalan memiliki bagian-bagian jalan, di mana masing-masing memliki fungsi khusus. Bagian-bagian jalan terdiri dari:
a. Ruang manfaat jalan adalah suatu ruang yang dimanfaatkan untuk konstruksi jalan dan terdiri atas badan jalan, saluran tepi jalan, serta ambang pengamannya. Badan jalan meliputi jalur lalu lintas, dengan atau tanpa jalur pemisah dan bahu jalan, termasuk jalur pejalan kaki. Ambang pengaman jalan terletak di bagian paling luar, dari ruang manfaat jalan, dan dimaksudkan untuk mengamankan bangunan jalan.
b. Ruang milik jalan (right of way) adalah sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang masih menjadi bagian dari ruang milik jalan yang dibatasi oleh tanda batas ruang milik jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keluasan keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran ruang manfaat jalan pada masa yang akan datang.
Bedasarkan Permenhub No. 14 Tahun 2006 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu-lintas di Jalan, beberapa indikator
73
yang harus dipenuhi dalam transportasi antara lain keamaman, ketertiban dan kelancaran. Kendaraan bermotor, kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki seyogyanya menempati bagian-bagian yang telah ditentukan.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian depan, jalan merupakan bagian dari urban space (type koridor). Konsekuensinya, beberapa elemen publik (di luar kegiatan transportasi) juga akan memanfaatkan bagian-bagian jalan ini, termasuk di dalamnya PKL.
PKL senantiasa mendekati tempat-tempat yang menjadi lalu-lalang orang. Lalu lintas kendaraan bermotor dan pejalan kaki sudah tentu menjadi incaran pasar bagi PKL, sehingga bagian-bagian jalan berupa trotoar cenderung ditempati oleh PKL. Bahkan jalur lambat, jalur hijau dan bahu jalan tak luput dari incaran PKL (Indrawati, 2007).
Kemacetan lalu-lintas merupakan permasalahan yang hampir selalu dijumpai pada kota-kota di Indonesia. Kemacetan lalu-lintas berakibat pada bertambahnya waktu tempuh dan biaya operasi kendaraan (user cost) bagi pengguna jalan serta meningkatkan polusi udara. Kota menjadi sangat tidak nyaman. Dalam jangka panjang, akan menghambat perkembangan kota, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan fisik maupun pariwisata (Riyanto, et.al, 2006).
Surakarta sebagai kota terbesar di bagian Selatan Jawa Tengah, juga memiliki masalah yang serius terkait dengan arus lalu-lintas perkotaannya. Berdasarkan pengamatan lapangan maupun kajian yang dilakukan oleh DLLAJ Kota Surakarta tahun 2006,
74
beberapa ruas maupun simpang jalan di kota Surakarta rawan kemacetan. Kondisi tersebut semakin parah menjelang Lebaran. Beberapa ruas dan simpang jalan tersebut antara lain Jl. Slamet Riyadi depan SGM, Jl. A. Yani, Jl. Dr Radjiman, Jl. Jendral Sudirman, Kawasan Pasar Nusukan, Pasar Klewer, Pasar Kembang, Jl. Adi Sucipto depan Gelora Manahan, Coyudan, Singosaren dan sebagainya (DLLAJ Kota Surakarta, 2006). Beberapa ruas jalan tersebut memiliki rasio V/C (volume / kapasitas) cukup besar (mencapai 0,8) dengan kecepatan rata-rata yang rendah berkisar 17 km/jam (DLLAJ Kota Surakarta, 2007).
Jika dicermati lebih lanjut, titik-titik tersebut merupakan kawasan komersial di mana pada bahu jalannya banyak dihuni oleh Pedagang Kaki Lima (PKL). Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Indrawati, et. al (2007), sebagian besar PKL (62,86 hingga 96,44%) menutup penuh trotoar yang ditempatinya. Sangat kecil PKL yang menyisakan trotoar bagi pejalan kaki. Kondisi ini menyebabkan pejalan kaki turun ke badan jalan. Bersama-sama dengan parkir yang ditimbulkannya, pejalan kaki dan PKL menghambat kelancaran lalu-lintas perkotaan.
Grafik Kecenderuangan Space Use oleh PKL
-
100
200
300
400
1-3 m2 4-6 m2 7-9 m2 10-12
m2
13-15
m2
16-18
m2
> 18 m2
Luasan (Space Use)
Jumlah PKL
1 Slamet Riyadi 2 Adi Sucipto 3 Gatot Subroto
4 Radjiman Jumlah
Gambar 3.15
Kecenderungan Space Use PKL di jalan raya
di Kota Solo
Sumber: Indrawati et.al, 2007
75
Tabel 4.3.
Pemanfaatan Trotoar
SR
AS
R
GS
Total
No
Lokasi PKL
Jml
%
Jml
%
Jml
%
Jml
%
Jml
%
1
Tepat menutupTrotoar
139
53.67
69
83.13
39
65.00
17
94.44
264
62.86
2
Ditutup penuh hingga melebar ke jalan/bahu jalan/jalur lambat
0
0.00
2
2.41
1
1.67
0
0.00
3
0.71
3
Setengah penuhmenutup Trotoar
120
46.33
6
7.23
20
33.33
1
5.56
147
35.00
4
Setengah Trotoarhingga ke Kapling lahan
0
0.00
6
7.23
0
0.00
0
0.00
6
1.43
Jumlah
259
100.00
83
100.00
60
100.00
18
100.00
420
100.00
Sumber: Indrawati et.al, 2007
76
Tabel 3.4
Komparasi Pola Pemanfaatan Trotoar oleh PKL dan Space Use-nya
Di Beberapa Koridor Jalan
No
Lokasi PKL
Jl. Slamet Riyadi
(lebar trotoar :
1,5 m)
Jl. Adi Sucipto
(lebar trotoar :
1,5 – 2 m)
Jl. Radjiman
(lebar trotoar :
1,5 m)
Jl. Gatot Subroto
(lebar trotoar :
1,5 m)
Simpulan
1
Tepatmenutup Trotoar
• Kecenderungan PKL di sini juga menutup penuh trotoar yang ditempatinya (tidak menyisakan ruang bagi pejalan kaki)
• PKL dengan luas 7 m2 dan selebihnya hampir semuanya menutup penuh trotoar.
• hampir semua type space use PKL melakukan penutupan penuh trotoar yang ditempatinya.
• PKL dengan luas 4 m2 dan selebihnya semuanya menutup penuh trotoar..
• Kecenderungan PKL di sini juga menutup penuh trotoar yang ditempatinya
• hampir semua PKL dengan luas 4 m2 atau lebih cenderung melakukan penutupan penuh trotoar yang ditempatinya.
Semua PKL dengan ukuran 4 -12 m2 menutup penuh trotoar yang ditempatinya.
• Di semua koridor jalan, PKL cenderung menutup penuh trotoar yang ada.
• PKL yang menutup penuh trotoar cenderung memiliki luasan 4 m2 atau lebih.
• Khusus di Jl. Slamet Riyadi, PKL yang menutup penuh trotoar cenderung berukuran 7m2 atau lebih.
2
Ditutup penuhhingga melebar ke jalan/bahu jalan/jalur lambat
-
-
-
-
Tidak ada PKL yang melebarkan area dagangannya ke arah depan (menuju badan jalan)
77
3
Setengahpenuh menutup Trotoar
• PKL dengan space kecil (< 6 m2) cenderung hanya menempati separo trotoar, menyisakan ruang untuk pengguna lainnya (pejalan kaki).
• PKL dengan luas 1-3 m2 mendominasi kecenderungan ini, proporsinya mencapai 95,83 % atau 115 PKL.
• Lebar trotoar yang masih tersisa (untuk pejalan kaki) memiliki lebar sekitar 0,75 - 1 m
• PKL dengan space kecil (1-3m2) yang hanya menempati separo trotoar, menyisakan ruang untuk pengguna lainnya (pejalan kaki), tetapi proporsinya hanya kecil (7,41 %).
• PKL type ini menggunakan trotoar dengan bijak, pengguna lain tidak terlalu dirugikan, bahkan sungkan menempati trotoar yang menjadi milik publik.
• Lebar trotoar yang masih tersisa (untuk pejalan kaki) memiliki lebar antara 0,75m.
• PKL dengan space kecil (1-3 m2) ap cenderung hanya menempati separo trotoar, menyisakan ruang untuk pengguna lainnya (pejalan kaki).
• PKL type ini menggunakan trotoar dengan bijak, pengguna lain tidak terlalu dirugikan.
Hanya 1 PKL yang menempati separo trotoar, dan itu adalah PKL dengan luas 1-3 m2.
Sisa trotoar untuk pejalan kaki berkisar 0,75 m.
• PKL yang hanya menutup sebagian atau separo trotoar adalah PKL type kecil (1-3m2)
• Lebar trotoar yang disisakan berkisar 0,75 – 1 m.
4
SetengahTrotoar hingga ke Kapling lahan
-
• Sebagian PKL setengah menutup trotoar dan melebar hingga ke kapling lahan di
-
-Sangatkecilkecenderungan PKL yang melebarakan lahan ke belakang trotoar. Ini terjadi jika
78
belakang trotoar. Mereka memiliki space use 1-3 m2.
lahan di belakang trotoar tidak dimanfaatkan atau berupa lahan kososng.
Keterangan
Lahan di belakang trotoar merupakan lahan yang sudah terbangun (lahan dimanfaatkan)
Pada kasus ini PKL memang cenderung memanfaatkan lahan privat (bukan trotoar) karena lahan di belakang trotoar merupakan lahan kosong (belum dimanfaatkan)
Lahan di belakang trotoar merupakan lahan yang sudah terbangun (lahan dimanfaatkan)
Lahan di belakang trotoar merupakan lahan yang sudah terbangun (lahan dimanfaatkan)
Sumber :Indrawati et.al, 2007
Penjelasan tentang posisi PKL terhadap luas trotoar yang ditempatinya dapat dilihat pada gambar-gambar berikut:
a. Tepat menutup Trotoar
b. Ditutup penuh hingga melebar ke jalan/bahu jalan/jalur lambat
c. Setengah penuh menutup Trotoar 200300150300150200200200 - 600300300300150200250150200300300150200150200200100300300150200150200300150
79
d. Setengah Trotoar hingga ke Kapling lahan
Gambar 3.16
Beberapa posisi okupasi trotoar oleh PKL
Sumber: Indrawati et.al, 2007
Pada banyak kasus keberadaan PKL juga menjadi katup penyelamat ekonomi kota manakala krisis moneter telah meluluh lantakkan sektor formal. Beberapa penelitian di Jakarta menyebutkan bahwa PKL menyumbangkan sekitar 60% dari total tenaga kerja. Di Jakarta, jumlah mereka yang terserap mencapai 360.000 orang, sedangkan di Jabotabek bisa mencapai 1.800.000 orang pada saat menjelang lebaran (Seturahman, 1995; Azis, 1997 dan CBS; 2001, dalam Mucthar, 2004).
Meskipun menghadapi berbagai kendala, upaya penataan dan pembinaan PKL terus dilakukan. Perhatian Pemkot terhadap PKL ini semakin meningkat dalam era kepemimpinan Jokowi (Joko Widodo, Walikota Surakarta). Dimulai dengan sosialisasi di tahun 2005 yang dilanjutkan dengan realisasi penataan PKL pada tahun 2006, membuktikan kerja keras semua pihak. Relokasi PKL ”Klitikan” dari Lapangan Banjarsari ke bangunan Pasar Klitikan
80
300150200300150200
81
Notoharjo yang megah dan permanen dilengkapi upacara ”boyongan” dengan prosesi kirab budaya, menunjukkan pendekatan yang humanis dalam penataan PKL. Pembangunan shelter-shelter permanen di Kompleks Gelora Manahan dan Kleco, tendanisasi dan grobagisasi melengkapi upaya penataan PKL dengan pendekatan pemberdayaan melalui fasilitasi bangunan / tempat berdagang.
Kerja keras tersebut telah membawa Kota Surakarta menjadi tempat belajar (studi banding) Pemkab dan Pemkot berbagai wilayah di Indonesia dalam hal penataan PKL. Bahkan dalam peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial secara Nasional 20 Desember 2006 yang dipusatkan di Lapangan Manahan, secara khusus Presiden RI juga memberikan apresiasi yang memuaskan bagi Pemkot Surakarta dalam hal penataan PKL (Solopos, 21 Desember 2007).
Namun demikian, tidak lama berselang banyak pihak-pihak yang mempertanyakan efektifitas kebijakan di atas. Kios dan los pasar yang diperuntukkan bagi PKL di Pasar Klitikan Notoharjo banyak yang kosong, sepi pembeli. Banyak kios yang dijual dan kemudian PKL kembali lagi berjualan di pinggir jalan. Demikian pula dengan shelter yang dibangun, banyak berpindah tangan atau berubah bentuk menjadi bangunan yang semakin permanen. PKL baru terus bermunculan, berharap nantinya akan memperoleh berbagai fasilitas sebagaimana yang telah diberikan saat ini. Konsistensi pengawasan yang lemah memiliki andil yang sangat besar dalam kegagalan penataan ini (Solo Pos, 2 Juni 2007).
82
Kalimat sinis juga terdengar dari para pelaku transportasi. Keberadaan PKL yang telah mengganggu kelancaran lalu-lintas, perlu ditata lebih baik. Menurut mereka, PKL terlalu dimanjakan. Jika kondisi ini diteruskan, tidak menutup kemungkinan Solo akan berkembang menjadi kota PKL, dan lalu-lintas akan semakin tidak lancar.
Berdasarkan berbagai tinjauan di atas, terlihat bahwa kebijakan penataan dan pembinaan PKL di Kota Surakarta yang diterapkan saat ini belum mampu mengendalikan PKL secara permanen. Fasilitasi bangunan / tempat berdagang dianggap sebagai bentuk legalisasi dan pemanjaan bagi PKL. Sebagaimana yang terjadi di kota Yogyakarta, PKL yang memperoleh berbagai kemudahan dan difasilitasi seringkali bukan type PKL yang benar-benar terpaksa menjadi PKL, tetapi para pedagang (yang relatif telah mapan) yang merasa lebih untung jika dikategorikan sebagai PKL. PKL type ini juga memperoleh keuntungan berupa kemudahan akses bagi pembeli (strategis) dan terbebas dari beban sewa lahan. Para pedagang formal yang menyewa / membayar biaya sewa tempat menjadi sangat dirugikan dengan hadirnya PKL besar sebagai pesaing. PKL dapat menjual dagangannya dengan harga yang lebih murah (Malik, 2005).
3.9.4. Okupasi Public Space oleh PKL
Pertumbuhan dan perkembangan kota-kota di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kegiatan Pedagang Kaki Lima (PKL). Kehadiran PKL mulai menimbulkan konflik ketika mereka
83
menggunakan / menyerobot ruang-ruang publik yang mereka anggap strategis secara ekonomis, seperti jalan, trotoar, jalur hijau (taman) dan sebagainya. Urban Space yang mestinya berfungsi publik, seringkali diokupasi secara permanen oleh PKL. Pengguna lain kehilangan wadah untuk beraktivitas (Fosterharoldas, 2004).
PKL juga sering menghadirkan masalah lingkungan fisik visual perkotaan. Perkembangan PKL di Kota Surakarta senantiasa identik dengan kekumuhan. Menurut istilah Bapak Bambang Santoso (Kepala Kantor PPKL Kota Surakarta), PKL di Kota Surakarta telah membuat klethe’an di mana-mana (disampaikan pada Forum Seminar Laporan Akhir Kajian Hukum Kebijakan Penataan PKL di Kota Surakarta tahun 2006).
Namun demikian kehadiran PKL tetap diperlukan oleh masyarakat luas. Jenis barang yang dijajakan (makanan, pakaian, kelontong dan sebagainya) senantiasa dicari oleh pembeli. Harganya yang relatif lebih murah dibanding di pertokoan formal, menjadikan PKL sebagai tempat berbelanja alternatif. Selain itu berbelanja di area PKL juga merupakan aktifitas rekreasi yang cukup digemari oleh sebagaian masyarakat kota (kasus : PKL di Malioboro Yogyakarta, PKL Manahan Surakarta dan sebagainya).
3.9.5. PKL dan Informalitas Perkotaan
Pendekatan informalitas Perkotaan dikemukakan oleh Rukmana (2005). Konsep informalitas perkotaan ini tidak terlepas dari dikotomi sektor formal dan sektor informal yang mulai dibicarakan pada awal tahun 1970-an.
84
Memakai konsep informalitas perkotaan dalam mencermati fenomena PKL di perkotaan mengubah perspektif terhadap keberadaan mereka di perkotaan. Mereka bukanlah kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. Mereka bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan.
Oleh karenanya fenomena PKL yang muncul di perkotaan di Indonesia seyogyanya dipahami dalam konteks transformasi perkotaan. Pergeseran sistem ekonomi dari yang berbasis pertanian ke industri dan jasa menyebabkan terjadinya urbanisasi seiring dengan intensitas sektor informal. Pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam menjelaskan proses transformasi perkotaan diperlukan dalam mencermati masalah sektor informal termasuk PKL.
Pemahaman ini akan menempatkan sektor informal sebagai bagian integral dalam sistem ekonomi perkotaan. Salah satu wujud pemahaman ini adalah menyediakan ruang kota untuk mewadahi kegiatan PKL. Hanya saja perlu dicatat bahwa ruang untuk kegiatan PKL ini adalah diperuntukkan bagi kaum miskin yang tidak bisa masuk sektor formal di perkotaan.
3.10. Peran Vegetasi dalam Perencanaan Urban Space
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, perencanaan urban space juga harus memperhatikan aspek ekologis. Vegetasi
85
memiliki karakteristik khusus yang sangat penting dalam menjaga keberlanjutan aspek ekologi (environmental sustainable) sekaligus pembentuk suasana arsitektural kota. Mulai dari variasi tajuk, bentuk dan warna, daun, bunga, buah maupun aroma yang dihasilkannya dapat merangsang panca indra untuk mencerap keindahannya.
Berbagai hal terkait dengan vegetasi di perkotaan akan dibahas secara khusus pada bab selanjutnya.
3.11. Standar Urban Space dan RTH
Departemen PU Cipta Karya tahun 1987 mengeluarkan standar kebutuhan taman yang ditentukan berdasarkan tingkatan wilayah pelayanannya mulai dari tingkat RT, RW sampai dengan tingkat kota. Bentuk urban space yang dimuat dalam standar ini meliputi fasilitas/sarana olah raga, taman bermain serta kuburan, sebagaimana uraian di bawah ini.
a. Sarana Olah Raga dan Daerah Terbuka
Disamping fungsi utama sebagai taman, tempat main anak-anak dan lapangan olah raga juga akan memberikan kesegaran pada kota (cahaya dan udara segar), dan netralisasi polusi udara sebagai paru-paru kota. Oleh karena fungsinya yang sangat penting, maka sarana-sarana ini harus benar-benar dijaga, baik dalam besaran maupun kondisinya.
b. Taman untuk 250 Penduduk
Setiap 250 penduduk dibutuhkan minimal 1 (satu) taman dan sekaligus tempat bermain anak-anak dengan sekurang-kurangnya
86
250 m2, atau dengan standar : 1 m2/penduduk. Lokasi taman diusahakan sedemikian sehingga merupakan faktor pengikat.
c. Taman untuk 2.500 Penduduk
Untuk setiap kelompok 2.500 penduduk diperlukan sekurang-kurangnya satu daerah terbuka di samping daerah-daerah terbuka yang telah ada pada tiap kelompok 250 penduduk. Daerah-daerah terbuka sebaiknya merupakan taman yang dapat digunakan untuk aktivitas – aktivitas olah raga seperti volley, badminton dan sebagainya. Luas area yang diperlukan untuk ini adalah : 1.250 m2 atau dengan standar : 0,5 m2/penduduk. Lokasinya dapat disatukan dengan pusat kegiatan RW di mana terletak di TK, Pertokoan, Pos Hansip, Balai Pertemuan dan lain-lain.
d. Taman dan Lapangan Olah Raga untuk 30.000 Penduduk
Sarana ini sangat diperlukan untuk kelompok 30.000 penduduk (satu lingkungan) yang dapat melayani aktivitas-aktivitas kelompok di area terbuka, misalnya : pertandingan olah raga, apel dan lain-lain. Sebaiknya berbentuk taman yang dilengkapi dengan lapangan olah raga/sepak bola sehingga berfungsi serba guna dan harus tetap terbuka. Untuk peneduh dapat ditanam pohon-pohon di sekelilingnya.
e. Taman dan Lapangan Olah Raga untuk 120.000 Penduduk
Setiap kelompok penduduk 120.000 penduduk sekurang-kurangnya harus memiliki satu lapangan hijau yang terbuka. Sarana ini berfungsi juga seperti pada kelompok 30.000 penduduk. Begitu juga bentuknya hanya lengkap dengan sarana-sarana olah raga yang diperkeras seperti tennis, bola basket, juga tempat ganti
87
pakaian dan WC umum. Luas area yang diperlukan untuk sarana-sarana ini adalah : 24.000 m2= 2,4 Ha dengan standar : 0,2 m2/penduduk. Lokasinya tidak harus di pusat Kecamatan. Sebaiknya dikelompokkan dengan sekolah.
e. Taman dan Lapangan Olah Raga untuk 480.000 Penduduk
Sarana ini untuk melayani penduduk sejumlah 480.000 penduduk. Berbentuk suatu kompleks yang terdiri dari :
􀂃 Stadion
􀂃 Taman-taman/tempat bermain
􀂃 Area parkir
􀂃 Bangunan-bangunan fungsional
Luas tanah yang dibutuhkan untuk aktivitas ini adalah : 144.000 m2 = 14,4 Ha atau dengan standar : 0,3 m2/penduduk.
f. Jalur Hijau
Disamping taman-taman dan lapangan olah raga terbuka masih harus disediakan jalur-jalur hijau sebagai cadangan /sumber – sumber alam. Besarnya jalur-jalur hijau ini adalah 15 m2/penduduk. Lokasinya bisa menyebar dan sekaligus merupakan filter dari daerah-daerah industri dan derah-daerah yang menimbulkan polusi.
g. Kuburan
Sarana lain yang masih dapat dianggap mempunyai fungsi sebagai daerah terbuka adalah kuburan. Besar/luas tanah kuburan ini sangat tergantung dari sistem penyempurnaan yang dianut
88
sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Sebagai patokan perhitungan digunakan (a) angka kematian setempat dan (b) sistem penyempurnaan.
Sedangkan Standar RTH secara khusus dimuat pada UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (biasa disebut UUPR). Berdasarkan UUPR pasal 26, 27 dan 28 disebutkan bahwa pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRW Kabupaten) juga harus memuat :
a. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka Hijau.
b. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan
c. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.
Pada pasal 29 ditegaskan bahwa:
(1) Ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.
(2) Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota.
(3) Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.
89
Distribusi ruang terbuka hijau publik disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang (Pasal 30).
Selain berdasarkan 2 peraturan di atas, juga terdapat beberapa pendekatan standar tentang besaran taman atau RTH. Mengacu tulisan Erri N. Megantara (wakil kepala PPSDAL-Lemlit Unpad) sebagaimana dilansir situs http://www.pikiran-rakyat.com (diakses bulan Juli 2007), disebutkan bahwa standar luas kebutuhan taman yang ideal menurut Lancashire Country Council adalah berkisar 7 - 11,5 m2 perorang (Seeley, 1973). Sedangkan dalam Laurie (1996) disebutkan bahwa standar taman untuk bermain minimal 2 acre (sekira 4.000 meter persegi) dan letaknya sekira 0,5 mil dari rumah; taman lingkungan minimal 1 acre/800 orang, dan taman rekreasi sekitar 32 acre.
Sementara itu, The Greater London Council membuat standar luas taman kota berdasarkan luas dan jarak jangkauan dari tempat tinggal, yaitu taman kecil yang luasnya kurang dari 2 ha dengan jarak yang dapat ditempuh dengan jalan kaki; taman menengah luasnya sekira 20 ha yang terletak sekira 1,5 km dari perumahan; dan taman besar dengan luas minimal 60 ha dengan jarak sekitar 8 km dari perumahan. Disamping itu, ada pula yang menentukan bahwa total luas taman kota yang ideal adalah minimal 10% dari total luas wilayah kota.
90
Di Malaysia, ditetapkan bahwa standar pemenuhan kebutuhan tamannya adalah 1,9 m2/orang, sementara di Jepang minimal 5 m2/orang (Tong Yiew, 1991). Pada masa kolonial, dalam rangka mewujudkan Kota Bandung sebagai tuin stad atau kota taman, pada tahun 1929 dibuat Plan Karsten yang didalamnya disebutkan bahwa standar khusus ruang terbuka dalam bentuk taman adalah 6,7 m2/orang. (Kunto, 1986). Hasil penelitian Thomas Nix tahun 1941, menyebutkan bahwa standar kebutuhan taman di Bandung adalah 3,5 m2/orang.
3.12. Beberapa Rencana Urban Space di Kota Surakarta
Bentuk rencana kongkrit yang siap dioperasionalkan di daerah (Kota / Kabupaten) tentang pengembangan ruang hijau kota biasanya diwadahi dalam bentuk RTBL yang dilanjutkan dengan DED.
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) merupakan istilah umum untuk menyebut Rencana Teknik Ruang Kota Kawasan Perkotaan (RTRK). Rencana Teknik Ruang Kota Kawasan Perkotaan merupakan penjabaran dari RDTRK berupa rencana geometrik pemanfaatan runag kawasan perkotaan yang disusun untuk perwujudan ruang kawasan perkotaan dalam rangka pembangunan kawasan kota.Dalam hal RDTRK belum ada, maka RTBL ini dapat diturunkan dari RTRW Kota melalui proses penentuan kawasan perencanaan.
Sedangkan DED adalah Detail Engineering Development, merupakan gambar detail yang siap dibangun. Pada gambar ini
91
memuat secara detail gambar-gambar arsitektural maupun gambar teknik konstruksinya. Jika DED ini telah ada, maka secara langsung rencana dapat diwujudkan dalam bentuk bangunan fisik.
Beberapa gambar proyek pengembangan urban space dan penataan PKL di kota Surakarta dapat dilihat pada VCD ”Seputar Perencanaan City walk di Kota Surakarta” atau website: http://www.ums.ac.id/fakultasteknik/jurusanarsitektur/ruhiko
EVALUASI
1. Jelaskan keterkaitan antara Public Space, Urban Space dan Open Space. Apa masing-masing karakter yang menonjol? Jelaskan karakter urban open space di kota tertentu berdasarkan pengamatan lapangan (lengkapi dengan gambar).
2. Bentuk urban space terdiri dari square dan the street. Tuliskan karakter masing-masing bentuk tersebut. Lengkapi informasi anda dengan gambar square urban space pada kota-kota tradisionil (di Indonesia maupun negara lain), masing-masing 5 contoh.
3. Penataan perparkiran dan ligting sangat penting dalam penataan urban space. Berdasarkan Buku Time Saver Standart for Landscape Architecture dan Time Saver Standart for Urban Design, deskripsikan ketentuan perencanaan kedua aspek di atas.
4. Buatlah matrik perbedaan dan persamaan antara city walk, pedestrian dan mall. Bagaimana peran keberadaan anchor?
92
5. Aspek apa saja yang harus diperhatikan dalam perencanaan urban space berdasarkan standar-standar tentang aksesibilitas?
6. Jelaskan definisi dan klasifikasi PKL berdasarkan beberapa sumber. Menurut anda, apakah definisi tersebut telah sesuai dengan kenyataan perkembangan lingkungan perkotaan?
7. Jelaskan beberapa permasalahan sekaligus potensi kehadiran PKL sebagai pendukung aktifitas pada suatu urban space.
8. Buatlah matrik tentang PKL klasifikasi apa saja yang seyogyanya mendapat perhatian khusus (memperoleh keberpihakan) dari pemerintah? Buatlah sketsa desain space dan visualisasi aktifitas PKL berdasarkan kriteria yang telah anda tetapkan di atas.
9. Jelaskan peran vegetasi dalam perencanaan urban space, bagaimana standar perencanaannya dari beberapa sumber?

Minggu, 15 Juli 2012

ODEXYUNDO: HUTAN KOTA

ODEXYUNDO: HUTAN KOTA: HUTAN KOTA Menurut Djamal (2005), hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekita...
Faktor Penyebab Tumbuhnya Permukiman Kumuh Di Pusat Kota Dan Kawasan Pesisir Pantai

Pada dasarnya suatu permukiman kumuh terdiri dari beberapa aspek penting, yaitu tanah/lahan, rumah/perumahan, komunitas, sarana dan prasarana dasar, yang terajut dalam suatu sistem sosial, sistem ekonomi dan budaya baik dalam suatu ekosistem lingkungan permukiman kumuh itu sendiri atau ekosistem kota. oleh karena itu permukiman kumuh harus senantiasa dipandang secara utuh dan integral dalam dimensi yang lebih luas. Beberapa dimensi permukiman kumuh yang menjadi penyebab tumbuhnya permukiman adalah sebagai berikut:

Apa Itu Ruang Publik?


Apa Itu Ruang Publik?

Oleh YUDHI DZULFADLI BAIHAQI

Cities have the capability of providing something for everyone, only because, and only when, they created by everybody (Jane Jacobs, "The Death and Life of Great American Cities").
DALAM tulisannya "Babakan Siliwangi Sebagai Kawasan Publik" (20/2), Budi Rijanto mengungkapkan mimpinya untuk menjadikan kawasan Babakan Siliwangi sebagai kawasan publik. Ia menyebut ITB sebagai operator, sedangkan owner adalah publik. Dengan dalih ITB sebagai pihak yang paling "berkepentingan", dalam mewujudkan mimpinya, ia juga mengungkapkan dibutuhkannya sektor publik (diwakili pemkot sebagai fasilitator dan ITB sebagai operator) sebagai promoter, dan sektor privat diposisikan sebagai financeer.
Saya akan menanggapinya dengan menjelaskan ruang publik dan esensi kebutuhannya.
Ada anggapan dalam perencanaan dan pembangunan kota yang acap kali menyederhanakan kepentingannya menjadi segitiga antara pemerintah, swasta, dan publik. Publik tidak sesederhana kelompok manusia yang "satu suara" dan "satu kepentingan", dan publik bukan "kumpulan orang banyak atau umum". Generalisasi publik menjadi masyarakat umum mengabaikan berbagai kepentingan dan perdebatan yang merupakan bagian dari masyarakat demokratis.