Minggu, 15 Juli 2012

URBAN SPACE, MALL, CITY WALK DAN PKL


URBAN SPACE, MALL,
CITY WALK DAN PKL

Ruang Hijau Kota (Ruhiko) atau Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban space) dengan unsur vegetasi yang dominan. Perancangan ruang hijau kota harus memperhatikan karakter public space, urban space dan open space serta elemen rancang kota lainnya.
3.1. Keterkaitan Public Space, Urban Space dan Open Space
Secara umum public space dapat didefinisikan dengan cara membedakan arti katanya secara harfiah terlebih dahulu. Public merupakan sekumpulan orang-orang tak terbatas siapa saja, dan space atau ruang merupakan suatu bentukan tiga dimensi yang terjadi akibat adanya unsur-unsur yang membatasinya (Ching, 1992). Unsur-unsur tersebut berupa bidang-bidang linier yang saling bertemu yaitu, bidang-bidang dasar/alas, bidang-bidang vertical dan bidang-bidang penutup (atap). Unsur-unsur di atas dapat dibentuk secara alami atau buatan. Bidang-bidang tersebutlah yang kemudian membentuk volume dari ruang tiga dimensi.

Dalam arsitektur, ruang-ruang yang terjadi dibatasi dengan adanya bidang lantai, dinding-dinding dan langit-langit atau atap yang kemudian membentuk ruang interior jika kita berada di dalamnya. Sedangkan pada ruang eksterior minimal terbentuk oleh dua bidang yang saling bertemu, biasanya bidang dasar dan vertical
untuk menciptakan kesan akan adanya suatu ‘ruang‘ sehingga orang yang ada di sekitarnya dapat merasakan adanya ruang tersebut (Snyder, 1986)
Berdasar pengertian di atas dapat didefinisikan bahwa public space merupakan suatu ruang yang terbentuk atau didesain sedemikian rupa sehingga ruang tersebut dapat menampung sejumlah besar orang (publik) dalam melakukan aktifitas-aktifitas yang bersifat publik sesuai dengan fungsi public space tersebut. Menurut Sudibyo (1981) publik yang menggunakan ruang tersebut mempunyai kebebasan dalam aksesibilitas (tanpa harus dipungut bayaran / gratis / free).
Sedangkan menurut Daisy (1974), berdasarkan pemilikannya Public space dapat diklasifikasikan berdasarkan dua jenis :
a. Public Space yang merupakan milik pribadi atau institusi yang dipergunakan oleh publik dalam kalangan terbatas. Misalnya halaman bangunan perkantoran, halaman sekolah atau mall shooping centre.
b. Public Space yang merupakan milik publik dan digunakan oleh orang banyak tanpa kecuali. Misalnya jalan kendaraan, jalan pedestrian, arcade, lapangan bermain, taman kota dan lain lain.
Pada bagian lain dikemukakan bahwa berdasarkan tempatnya, Public Space dapat dibedakan menjadi :
a. Public Space di dalam bangunan (indoor public space)
b. Public Space di luar bangunan (outdoor public space)
Public space di luar bangunan yang merupakan milik perorangan atau institusi biasanya berkaitan erat dengan fungsi bangunan di sekitarnya dan bertujuan untuk memberikan keleluasaan aksesibilitas bagi para pengguna terhadap fungsi-fungsi tersebut. Sedangkan public space di luar bangunan yang merupakan milik publik, mempunyai kaitan yang lebih fleksibel dengan lingkungan sekitarnya dan tidak mengarahkan pada suatu fungsi tertentu saja.
Public Space di luar bangunan, secara fisik visual biasanya berupa ruang terbuka kota sehingga biasa disebut dengan istilah urban space.
Ruang terbuka di luar bangunan terbentuk akibat adanya batasan-batasan fisik yang dapat berupa unsur-unsur alam dan unsur-unsur buatan / material kota (urban mass), agar tercipta suatu ruang yang dapat mewadahi aktifitas-aktifitas publik di luar bangunan dan juga mewadahi aliran pergerakan publik dalam mencapai suatu tempat atau tujuan.
Menurut Spreiregen (1965), jika ruang tersebut pembatasnya didominasi oleh unsur alam (natural), maka ruang yang terbentuk disebut open space. Sedangkan jika material pembatasnya didominasi oleh unsur buatan (urban mass), maka ruang yang terbentuk disebut urban space. Urban space yang juga memiliki
karakter open space, biasanya juga disebut dengan istilah urban open space.
Namun demikian menurut Krier (1979), jika kita bisa mengabaikan kriteria estetis, maka pengertian tentang ruang kota cenderung mencakup semua ruang yang terletak di antara gedung-gedung dan bangunan lain. Ruang ini dibatasi secara geometris oleh perbedaan ketinggian. Kejelasan karakteristik dan estetislah yang memungkinkan kita menyerap ruang-ruang luar ini sebagai urban space / ruang kota.
Persimpangan jalan membentuk Urban Space

3.1. Jenis Urban Space
Pada skala urban, public space dapat berupa jalur sirkulasi yang mewadahi pergerakan orang atau berupa taman-taman kota yang sifatnya sangat publik. Pada dasarnya orang-orang melakukan aktifitas pada public space ini adalah untuk berinteraksi satu sama lain walaupun pertemuan diantara mereka sifatnya insidental.
Menurut bentuk dan aktifitas yang terjadi pada urban space, Linch (1987) mengkategorikannya menjadi 2, yaitu lapangan (square) dan jalur / jalan (the street).
Ruang kota, baik berupa lapangan maupun koridor / jaringan, merupakan salah satu elemen rancang kota yang sangat penting dalam pengendalian kualitas lingkungan ekologis dan sosial (Shirvani, 1985). Namun pada kenyataannya, dewasa ini semakin terdesak oleh kepentingan ekonomi. Fungsi ekonomi lahan makin mengukuhkan dominasinya, jauh meninggalkan fungsi-fungsi sosial dan kepentingan umum (Jayadinata, 1992). Padahal dalam jangka panjang keberadaan public space sangat mempengaruhi kehidupan ekonomi perkotaan. Makin luas urban open space di kota, makin banyak orang yang berkumpul pada simpul / node tersebut dan makin tinggi gedung-gedung di sekelilingnya (nilai ekonomi lahan makin tinggi sehingga intensitas penggunaan lahan makin tinggi pula).

3.1.1. Lapangan (Square)
Kategori ruang kota ini merupakan kategori tertua dan seringkali memiliki makna simbolis, religius, budaya maupun makna
politis yang kuat. Ruang kota ini memiliki karakter statis, berperan sebagai daerah pemberhentian dari satu ruang ke ruang lain. Fungsi yang sesuai untuk ruang kota jenis ini adalah kegiatan komersial (pasar) dan aktivitas budaya (civic activity).
Urban space skala kota berbentuk square seringkali merupakan pusat orientasi kawasan. Square ini memiliki pola / lay out space yang bervariasi, sesuai jenis kegiatan yang ditampungnya serta fungsi makro dari public space itu sendiri. Apakah merupakan space untuk sarana rekreasi keluarga, lapangan OR, tempat penyelenggaraan upacara (seremonial) hingga simbol kewibawaan kawasan atau pemerintahan.
3.1.2. Jalanan (the street) dan Mall
Kategori ini memiliki karakteristik fungsional yang lebih kuat di banding kategori pertama. Aktifitas di ruang ini sangat dinamis, sehingga kualitas visual hanya dilihat sepintas. Kategori ini lebih tepat dipandang sebagai suatu jaringan ruang yang menghubungkan satu ruang dengan ruang lainnya. Bentuk kongkrit dari ruang ini sebagian besar berupa jalan raya untuk kendaraan bermotor dan trotoar untuk pedestrian / pejalan kaki di sisi jalan raya.

3.2. Fungsi Urban Space
Fungsi urban space bisa beraneka ragam tergantung jenis aktifitas yang dapat ditampung di dalamnya. Suatu taman dirancang sebagai suatu tempat rekreasi. Kegiatan yang selanjutnya terjadi di sana bisa lebih meluas. Pengunjung taman tidak sekedar
melakukan aktifitas rekreasi saja melainkan juga dapat melakukan interaksi dengan orang lain. Orang datang ke taman juga ada yang hanya untuk menyendiri.
Menurut Sukada (2004), urban space merupakan wadah bagi masyarakat kota untuk mengekspresikan diri. Bentuk ekpresinya bisa bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan aktifitasnya. Fungsi urban space dapat berubah seiring dengan perubahan waktu. Fungsi-fungsi tersebut antara lain :
a. Sebagai sarana prasarana untuk menampung pergerakan orang dan barang dari satu tempat ke tempat yang lain.
b. Merupakan akses ke suatu bangunan. Bisa berupa prasarana transportasi kendaraan bermotor maupun pejalan kaki.
c. Sebagai jalan pintas dari suatu bangunan ke bangunan yang lain. Jalan pintas itu dapat berupa taman, lorong, yang menembus bangunan atau jembatan penghubung antara suatu fungsi ke fungsi yang lain.
d. Sebagai sarana untuk menampung kegiatan yang bersifat rekreatif atau santai, baik kegiatan yang aktif maupun pasif.
e. Sebagai sarana pendidikan.
f. Tempat terjadinya kontak sosial yang bersifat informal. Kontak sosial itu dapat terjadi karena adanya kecenderungan orang untuk melihat dan dilihat.
g. Tempat mengekspresikan diri (termasuk unjuk kebolehan) untuk memperoleh kepuasan aktualisasi maupun penghargaan dari orang lain, seperti yang biasa dilakukan oleh para kawula muda. Mereka biasa menunjukkan gaya berpakaian, gaya
berdandan, model rambut, kemampuan berolah tubuh, kemahiran ber “skater ria” dan sebagainya.
h. Adanya hubungan saling ketergantungan antara orang yang menjual satu komoditi dengan orang yang membutuhkan komoditi tersebut.
i. Adanya kebutuhan orang akan informasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
j. Sebagai tempat berorientasi, artinya adalah tempat orang merencanakan apa yang dilakukan dan harus kemana harus pergi untuk mencapai tujuannya.
k. Sebagai sarana untuk mengumpulkan dan mewadahi orang dalam jumlah yang besar beserta aktivitasnya. Public space sangat efektif untuk menampung aktifitas politik seperti kampanye, demonstrasi, dan sebagainya.
menambah kualitas visual lingkungan. Pendekataan program penggunaan berganda dengan cara time sharing. Satu lokasi parkir
Selain berbagai pertimbangan yang telah dikemukakan di dalamnya, dan John Montgomery (1998) dalam Carmona (2003), kesa Perancangan Urban Space
depan, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan lebih lanjutdalam pera
ncangan urban space. Menurut Nurhasan (1999), hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan public space, diantaranya adalah masalah keamanan, kenyamanan serta keindahan visual bagi para pengguna serta pemeliharaannya. Danisworo (1994) menyatakan perancangan urban space menyangkut dua aspek yaitu aspek fungsional dan aspek ekologis. Aspek eko
logis penting diperhatikan untuk menjaga agar keseimbangan ekosistem lingkungan binaan tidak terganggu. Bentuk dan sifat ruang terbuka yang bersifat fungsional ditentukan oleh sifat dari aktivitas manusia yang berlangsung di
oleh karenanya harus dibentuk berdasarkan konsep sosilogis yang disusun secara matang. Perencanaan ruang terbuka yang berhasil adalah ruang terbuka yang mendukung kegiatan yang bervariasi, seperti area pejalan kaki, rute sepeda, area historis, tepi pantai dan keterkaitan struktur ruang terbuka yang mengkordinasikan area kultural, komersial dan pemerintahan. Berbagai pendekatan di atas diharapkan akan mendukung citra kota (image of the city) lebih kuat. Menurut John Punter (1991)
baca buku Public Paces Urban Spaces – The Dimension of Urban Design oleh Mathew Carmona, halaman 132 – 141. 3.6. City Walk, Pedestrian dan Mall
Sebagaimana ditulis Fitrianto (200
suasana yang terkait dengan
ini. City Walk biasanya berupa koridor ruang terbuka untuk pejalan kaki yang menghubungkan beberapa fungsi komersial dan ritel yang ada. Koridor ini biasanya terbuka dan relatif cukup lebar, berkisar 2 - 6 meter, tergantung konsep jenis kegiatan yang akan diciptakan.
diperluas serta dilengkapi dengan taman dan pepohonan, penerangan dan elemen luar lainnya. erdasar berbagai tulisan di atas, tidak jumpai definisi mall pusat perbelanjaan. Jika sekarang banyak pusat
perbelanjaan yang diberi nama mall (Solo Grand Mall, Ciputra Mall, Supermall Karawachi dan sebagainya), adalah suatu upaya dari pihak pengelola pusat perbelanjaan untuk memberikan gambaran suasana mall (yang sesungguhnya) pada pusat perbelanjaan tersebut. Suasanan tersebut dibentuk dengan mendesain hall utama sebagai pusat interaksi . Hall ini biasanya berbentuk atrium dan cenderung memanjang. Pada kanan kiri hall berjajar pertokoan / retail-retail. Pada hall inilah orang berlalu-lalang (seperti outdoor pedestrian) sambil menikmati barang-barang yang dijajakan. Suasana ini mirip dengan pedestrian di jalan raya dengan deretan pertokoan di kanan-kirinya. Sebelum menggunakan mall sebagai brand image, dahulu digunakan nama plasa /perbelanjaan (Simpang Lima Plaza, Senayan Plaza, Ratu Plaza dan sebagainya). Saat ini, beberapa nama pusat perbelanjaan tidak lagi menggunakan nama mall, telah bergeser dengan nama “square”, misal Jebres Square, Cendana Soba Square, Solo Square dan sebagainya.

Perencanaan rambu dan marka memiliki persyaratan sebagai berikut:
a. Penggunaan rambu terutama dibutuhkan pada:
1) Arah dan tujuan jalur pedestrian;
2) KM/WC umum, telpon umum;
3) Parkir khusus penyandang cacat;
4) Nama fasilitas dan tempat;
5) Telepon dan ATM.
b. Persyaratan Rambu yang digunakan:
1) Rambu huruf timbul atau huruf Braille yang dapat dibaca oleh tuna netra dan penyandang cacat lain;
2) Rambu yang berupa gambar dan simbol sebaiknya dengan sistem cetak timbul, sehingga yang mudah dan cepat ditafsirkan artinya;
3) Rambu yang berupa tanda dan simbol internasional;
4) Rambu yang menerapkan metode khusus (misal: pembedaan perkerasan tanah, warna kontras, dll);
5) Karakter dan latar belakang rambu harus dibuat dari bahan yang tidak silau. Karakter dan simbul harus kontras dengan latar belakangnya, apakah karakter terang di atas gelap, atau sebaliknya;
6) Proporsi huruf atau karakter pada rambu harus mempunyai rasio lebar dan tinggi antara 3: 5 dan 1:1, serta ketebalan huruf antara 1: 5 dan 1:10;
7) Tinggi karakter huruf dan angka pada rambu harus diukur sesuai dengan jarak pandang dari tempat rambu itu dibaca.
c. Lokasi penempatan rambu:
2) Penempatan yang sesuai dan tepat serta bebas pandang tanpa penghalang.
3) Satu kesatuan sistem dengan lingkungannya.
4) Cukup mendapat pencahayaan, termasuk penambahan lampu pada kondisi gelap.
5) Tidak mengganggu arus (pejalan kaki dll) dan sirkulasi (buka/tutup pintu, dll).

2. RUANG TERBUKA DAN
PENGHIJAUAN KETENTUAN MINIMUM

Ruang terbuka dan Penghijauan
- Menyediakan jalur pemandu masuk
dan keluar pada ruang terbuka
- Menyediakan ram untuk masuk dan
keluar untuk pengguna kursi roda
3. KETENTUAN PARKIR KETENTUAN MINIMUM
Bangunan – bangunan lain dimana masyarakat umum berkumpul dalam jumlah besar seperti pusat perdagangan swalayan, departemen store, dan bangunan pertemuan
Tempat duduk untuk pengunjung penyandang cacat atau orang yang tidak sanggup berdiri dalam waktu lama atau area untuk kursi roda harus tersedia secara memadai
Sumber: Permen PU No. 30/PRT/M/2006
Beberapa ketentuan persyaratan pada Ruang Terbuka dan Penghijauan meliputi:
a. jalur pemandu disediakan menuju kelengkapan elemen lansekap/perabot/street furniture antara lain:
1) peta situasi/rambu;
2) kamar kecil/toilet umum;
3) tangga;
4) ram;
5) tempat parkir;
6) tempat pemberhentian/halte bus.
b. jalur pemandu harus berdekatan dengan :
1) kursi taman;
2) tempat sampah;
3) telepon umum.
c. perletakan perabot jalan (street furniure) haruslah mudah dicapai oleh setiap orang.
3.9. PKL sebagai Pendukung Kegiatan (Activity Support)
3.9.1. Definisi dan Klasifikasi PKL
Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang informal yang menempati kaki lima (trotoar – pedestrian) yang keberadaannya tidak boleh mengganggu fungsi publik, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, fisik visual, lingkungan dan pariwisata (Sidharta, 2002; Perda Kotamadya Surakarta No. 8 tahun 1995.
Istilah Pedagang Kaki Lima (PKL) menurut Sidharta (2002) erat kaitannya dengan istilah di Perancis tentang pedestrian untuk pejalan kaki di sepanjang jalan raya, yaitu Trotoir (baca: trotoar). Di sepanjang jalan raya kebanyakan berdiri bangunan bertingkat. Pada lantai paling bawah biasanya disediakan ruang untuk pejalan kaki (trotoir) selebar 5 kaki (5 feet setara dengan 1,5 m). Pada perkembang-an berikutnya para pedagang informal akan menempati trotoir tersebut, sehingga disebut dengan istilah Pedagang Lima Kaki (di Indonesia disebut Pedagang Kaki Lima = PKL).
Berdasar tinjauan di atas PKL tergolong sektor informal. Menurut Wirosandjojo (1985) dalam Harris Koentjoro (1994), sektor informal merupakan bagian dari kegiatan ekonomi marginal (kecil-kecilan), yang memiliki ciri-ciri antara lain (a) Pola kegiatannya tidak teratur, baik waktu, permodalan maupun penerimaan ; (b) Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omsetnya kecil dan diusahakan berdasar hitungan harian; (c) umumnya tidak memiliki tempat usaha yang permanen dan terpisah dari tempat tinggalnya; (d) tidak memiliki keterikaitan dengan usaha lain yang besar; (e) umumnya dilakukaan oleh dan melayani masyarakat yang berpenghasilan rendah; (f) tidak membutuhkan keahlian atau ketrampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap bermacam-macam tingkat pendidikan dan ketrampilan kerja; (g)
umumnya tiap-tiap satuan usaha mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari kerabat keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama; dan (h) tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan dan perkreditan formal (Wirosandjojo, 1985 dalam Koentjoro ,1994).
Selain definisi secara umum, Kota Surakarta telah mendefinisikan PKL secara khusus sebagaimana dimuat dalam Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Pada Bab I Ketentuan Umum, dapat diartikan sebagai berikut:
Pedagang Kaki Lima adalah orang yang melakukan usaha dagang dan atau jasa, ditempat umum baik menggunakan atau tidak menggunakan sesuatu, dalam melakukan usaha dagang. Sedangkan Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima adalah tempat umum yaitu tepi-tepi jalan umum, trotoar dan lapangan serta tempat lain diatas tanah negara yang ditetapkan oleh Walikotamadya Kepala Daerah. Pada bagian selanjutnya ditegaskan bahwa setiap Pedagang Kaki Lima harus bertanggung jawab terhadap ketertiban, kerapian, keindahan, kesehatan lingkungan dan keamanan disekitar tempat usaha.
Pemkot Surakarta belum membuat klasifikasi tentang PKL terkait dengan variasi hak dan kewajibannya. Berdasarkan hasil kajian Hukum tentang PKL yang juga dilakukan oleh Pemkot Surakarta pada tahun 2006, perlu dibuat definisi / batasan dan klasifikasi PKL yang mampu menjadi payung penataan dan
pengendalian PKL, baik dalam konteks perkembangan fisik visual perkotaan, ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Namun berdasar hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa klasifikasi sebagai berikut :
Menurut Malik (2005), Indrawati, et.al. (2004), Palupi dan Raharjo (2004), Indrawati (2005) dan Indrawati, et.al. (2007), PKL diklasifikasikan menjadi:
a) Berdasarkan latar belakang ekonominya. Klasifikasi pertama adalah PKL yang benar-benar terpaksa menjadi PKL karena kesulitan hidup. Mereka berdagang dengan warung beroda (dorongan) ataupun bangunan semi permanen di trotoar. Sembari berdagang mereka juga bertempat tinggal di situ, karena tidak ada tempat lain lagi untuk dijadikan tempat tinggal. Kedua, PKL yang berdagang karena masalah ekonomi juga namun mereka telah memiliki tempat tinggal dan simbol hidup modern seperti TV misalnya. Ketiga, PKL yang berdagang karena melihat potensi keuntungan jauh lebih besar dari pada membua toko / warung dibanding jika harus menyewanya. Selain itu juga lebih mudah diakses pembeli.
b) Berdasar jenis dagangan yang dijual, terdiri dari PKL penjual (a) makanan, (b) pakaian, (c) kelontong, (d) peralatan bekas (klitikan) dan sebagainya.
c) Berdasar waktu berdagang, terdiri dari PKL yang berdagang pada pada pagi hingga siang hari, pagi
hingga sore hari, sore hingga malam hari, malam hingga pagi hari, pagi hingga malam hari dan sepanjang hari.
d) Berdasar bangunan tempat berdagang, dapat diklasifikasikan menjadi (a) PKL bergerak / movable / dorongan ; (b) PKL tanpa bangunan seperti PKL oprokan / dasaran / gelaran, (c) PKL dengan bangunan permanen (selalu ada setiap saat, baik bentuknya masih tetap maupun udah berubah) dan (d) PKL dengan bangunan non permanen (bongkar pasang).

PKL yang berada di area non pedestrian memiliki karakter yang berbeda dengan PKL yang di area pedestrian. Faktor citra dagangan yang spesifik akan menyebabkan pembeli secara khusus mendatangi kawasan PKL ini. Pembeli ini tidak sekedar berlalu (lewat), tetapi menyengaja datang untuk membeli barang dagangan yang spesifik (Indrawati, 2005).
Berdasarkan Absori et.al. (2006), PKL memiliki dimensi kegiatan yang sangat kompleks, baik terkait dengan aspek ekonomi, teknis, sosial, lingkungan maupun ketertiban umum. Beberapa aspek tersebut antara lain (a) PKL sering menggunakan public space (tempat umum) secara permanen seperti trotoar, jalur lambat, badan jalan, bahu jalan, lapangan dan sebagainya; (b) PKL seringkali mengganggu kelancaran lalu lintas; (c) Lahan yang dimanfaatkan oleh PKL sering bertolak belakang dengan aturan peruntukan lahan perkotaan; (d) Limbah PKL sering mengganggu lingkungan dan kebersihan kota; (e) Keberadaan PKL sering mengganggu ketertiban umum, terutama pemakai jalan dan pemakai bangunan formal di sekitar PKL; dan (f) PKL sangat sulit ditata atau diatur.

3.9.3. PKL dan Kemacetan Lalu Lintas

Jaringan jalan merupakan salah satu pembentuk struktur kota, menjadi aspek penting dalam pembangunan wilayah, ekonomi, sosial dan politik. Melalui fungsinya sebagai sarana transportasi, jaringan jalan memiliki keterkaitan yang erat dengan pola penggunaan lahan perkotaan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, fungsi jalan terdiri dari jalan arteri, kolektor dan primer. Masing-masing fungsi memiliki karakteristik yang jelas baik ditinjau dari geometri jalan, kecepatan lalu-lintas, jenis kendaraan yang lewat, jumlah jalan masuk dan sebagainya.
Tiap ruas jalan memiliki bagian-bagian jalan, di mana masing-masing memliki fungsi khusus. Bagian-bagian jalan terdiri dari:
a. Ruang manfaat jalan adalah suatu ruang yang dimanfaatkan untuk konstruksi jalan dan terdiri atas badan jalan, saluran tepi jalan, serta ambang pengamannya. Badan jalan meliputi jalur lalu lintas, dengan atau tanpa jalur pemisah dan bahu jalan, termasuk jalur pejalan kaki. Ambang pengaman jalan terletak di bagian paling luar, dari ruang manfaat jalan, dan dimaksudkan untuk mengamankan bangunan jalan.
b. Ruang milik jalan (right of way) adalah sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang masih menjadi bagian dari ruang milik jalan yang dibatasi oleh tanda batas ruang milik jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keluasan keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran ruang manfaat jalan pada masa yang akan datang.
Bedasarkan Permenhub No. 14 Tahun 2006 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu-lintas di Jalan, beberapa indikator
yang harus dipenuhi dalam transportasi antara lain keamaman, ketertiban dan kelancaran. Kendaraan bermotor, kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki seyogyanya menempati bagian-bagian yang telah ditentukan.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian depan, jalan merupakan bagian dari urban space (type koridor). Konsekuensinya, beberapa elemen publik (di luar kegiatan transportasi) juga akan memanfaatkan bagian-bagian jalan ini, termasuk di dalamnya PKL.
PKL senantiasa mendekati tempat-tempat yang menjadi lalu-lalang orang. Lalu lintas kendaraan bermotor dan pejalan kaki sudah tentu menjadi incaran pasar bagi PKL, sehingga bagian-bagian jalan berupa trotoar cenderung ditempati oleh PKL. Bahkan jalur lambat, jalur hijau dan bahu jalan tak luput dari incaran PKL (Indrawati, 2007).
Kemacetan lalu-lintas merupakan permasalahan yang hampir selalu dijumpai pada kota-kota di Indonesia. Kemacetan lalu-lintas berakibat pada bertambahnya waktu tempuh dan biaya operasi kendaraan (user cost) bagi pengguna jalan serta meningkatkan polusi udara. Kota menjadi sangat tidak nyaman. Dalam jangka panjang, akan menghambat perkembangan kota, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan fisik maupun pariwisata (Riyanto, et.al, 2006).
Surakarta sebagai kota terbesar di bagian Selatan Jawa Tengah, juga memiliki masalah yang serius terkait dengan arus lalu-lintas perkotaannya. Berdasarkan pengamatan lapangan maupun kajian yang dilakukan oleh DLLAJ Kota Surakarta tahun 2006,
beberapa ruas maupun simpang jalan di kota Surakarta rawan kemacetan. Kondisi tersebut semakin parah menjelang Lebaran. Beberapa ruas dan simpang jalan tersebut antara lain Jl. Slamet Riyadi depan SGM, Jl. A. Yani, Jl. Dr Radjiman, Jl. Jendral Sudirman, Kawasan Pasar Nusukan, Pasar Klewer, Pasar Kembang, Jl. Adi Sucipto depan Gelora Manahan, Coyudan, Singosaren dan sebagainya (DLLAJ Kota Surakarta, 2006). Beberapa ruas jalan tersebut memiliki rasio V/C (volume / kapasitas) cukup besar (mencapai 0,8) dengan kecepatan rata-rata yang rendah berkisar 17 km/jam (DLLAJ Kota Surakarta, 2007).
Jika dicermati lebih lanjut, titik-titik tersebut merupakan kawasan komersial di mana pada bahu jalannya banyak dihuni oleh Pedagang Kaki Lima (PKL). Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Indrawati, et. al (2007), sebagian besar PKL (62,86 hingga 96,44%) menutup penuh trotoar yang ditempatinya. Sangat kecil PKL yang menyisakan trotoar bagi pejalan kaki. Kondisi ini menyebabkan pejalan kaki turun ke badan jalan. Bersama-sama dengan parkir yang ditimbulkannya, pejalan kaki dan PKL menghambat kelancaran lalu-lintas perkotaan.

Oleh karenanya fenomena PKL yang muncul di perkotaan di Indonesia seyogyanya dipahami dalam konteks transformasi perkotaan. Pergeseran sistem ekonomi dari yang berbasis pertanian ke industri dan jasa menyebabkan terjadinya urbanisasi seiring dengan intensitas sektor informal. Pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam menjelaskan proses transformasi perkotaan diperlukan dalam mencermati masalah sektor informal termasuk PKL.
Pemahaman ini akan menempatkan sektor informal sebagai bagian integral dalam sistem ekonomi perkotaan. Salah satu wujud pemahaman ini adalah menyediakan ruang kota untuk mewadahi kegiatan PKL. Hanya saja perlu dicatat bahwa ruang untuk kegiatan PKL ini adalah diperuntukkan bagi kaum miskin yang tidak bisa masuk sektor formal di perkotaan.
3.10. Peran Vegetasi dalam Perencanaan Urban Space
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, perencanaan urban space juga harus memperhatikan aspek ekologis. Vegetasi yang memiliki karakteristik khusus yang sangat penting dalam menjaga keberlanjutan aspek ekologi (environmental sustainable) sekaligus pembentuk suasana arsitektural kota. Mulai dari variasi tajuk, bentuk dan warna, daun, bunga, buah maupun aroma yang dihasilkannya dapat merangsang panca indra untuk mencerap keindahannya.
Berbagai hal terkait dengan vegetasi di perkotaan akan dibahas secara khusus pada bab selanjutnya.
3.11. Standar Urban Space dan RTH
Departemen PU Cipta Karya tahun 1987 mengeluarkan standar kebutuhan taman yang ditentukan berdasarkan tingkatan wilayah pelayanannya mulai dari tingkat RT, RW sampai dengan tingkat kota. Bentuk urban space yang dimuat dalam standar ini meliputi fasilitas/sarana olah raga, taman bermain serta kuburan, sebagaimana uraian di bawah ini.
a. Sarana Olah Raga dan Daerah Terbuka
Disamping fungsi utama sebagai taman, tempat main anak-anak dan lapangan olah raga juga akan memberikan kesegaran pada kota (cahaya dan udara segar), dan netralisasi polusi udara sebagai paru-paru kota. Oleh karena fungsinya yang sangat penting, maka sarana-sarana ini harus benar-benar dijaga, baik dalam besaran maupun kondisinya.
b. Taman untuk 250 Penduduk
Setiap 250 penduduk dibutuhkan minimal 1 (satu) taman dan sekaligus tempat bermain anak-anak dengan sekurang-kurangnya 250 m2, atau dengan standar : 1 m2/penduduk. Lokasi taman diusahakan sedemikian sehingga merupakan faktor pengikat.
c. Taman untuk 2.500 Penduduk
Untuk setiap kelompok 2.500 penduduk diperlukan sekurang-kurangnya satu daerah terbuka di samping daerah-daerah terbuka yang telah ada pada tiap kelompok 250 penduduk. Daerah-daerah terbuka sebaiknya merupakan taman yang dapat digunakan untuk aktivitas – aktivitas olah raga seperti volley, badminton dan sebagainya. Luas area yang diperlukan untuk ini adalah : 1.250 m2 atau dengan standar : 0,5 m2/penduduk. Lokasinya dapat disatukan dengan pusat kegiatan RW di mana terletak di TK, Pertokoan, Pos Hansip, Balai Pertemuan dan lain-lain.
d. Taman dan Lapangan Olah Raga untuk 30.000 Penduduk
Sarana ini sangat diperlukan untuk kelompok 30.000 penduduk (satu lingkungan) yang dapat melayani aktivitas-aktivitas kelompok di area terbuka, misalnya : pertandingan olah raga, apel dan lain-lain. Sebaiknya berbentuk taman yang dilengkapi dengan lapangan olah raga/sepak bola sehingga berfungsi serba guna dan harus tetap terbuka. Untuk peneduh dapat ditanam pohon-pohon di sekelilingnya.
e. Taman dan Lapangan Olah Raga untuk 120.000 Penduduk
Setiap kelompok penduduk 120.000 penduduk sekurang-kurangnya harus memiliki satu lapangan hijau yang terbuka. Sarana ini berfungsi juga seperti pada kelompok 30.000 penduduk. Begitu juga bentuknya hanya lengkap dengan sarana-sarana olah raga yang diperkeras seperti tennis, bola basket, juga tempat ganti
pakaian dan WC umum. Luas area yang diperlukan untuk sarana-sarana ini adalah : 24.000 m2= 2,4 Ha dengan standar : 0,2 m2/penduduk. Lokasinya tidak harus di pusat Kecamatan. Sebaiknya dikelompokkan dengan sekolah.
e. Taman dan Lapangan Olah Raga untuk 480.000 Penduduk
Sarana ini untuk melayani penduduk sejumlah 480.000 penduduk. Berbentuk suatu kompleks yang terdiri dari :
􀂃 Stadion
􀂃 Taman-taman/tempat bermain
􀂃 Area parkir
􀂃 Bangunan-bangunan fungsional
Luas tanah yang dibutuhkan untuk aktivitas ini adalah : 144.000 m2 = 14,4 Ha atau dengan standar : 0,3 m2/penduduk.
f. Jalur Hijau
Disamping taman-taman dan lapangan olah raga terbuka masih harus disediakan jalur-jalur hijau sebagai cadangan /sumber – sumber alam. Besarnya jalur-jalur hijau ini adalah 15 m2/penduduk. Lokasinya bisa menyebar dan sekaligus merupakan filter dari daerah-daerah industri dan derah-daerah yang menimbulkan polusi.
g. Kuburan
Sarana lain yang masih dapat dianggap mempunyai fungsi sebagai daerah terbuka adalah kuburan. Besar/luas tanah kuburan ini sangat tergantung dari sistem penyempurnaan yang dianut
sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Sebagai patokan perhitungan digunakan (a) angka kematian setempat dan (b) sistem penyempurnaan.
Sedangkan Standar RTH secara khusus dimuat pada UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (biasa disebut UUPR). Berdasarkan UUPR pasal 26, 27 dan 28 disebutkan bahwa pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRW Kabupaten) juga harus memuat :
a. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka Hijau.
b. rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan
c. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.
Pada pasal 29 ditegaskan bahwa:
(1) Ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.
(2) Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota.
(3) Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.

Distribusi ruang terbuka hijau publik disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang (Pasal 30).
Selain berdasarkan 2 peraturan di atas, juga terdapat beberapa pendekatan standar tentang besaran taman atau RTH. Mengacu tulisan Erri N. Megantara (wakil kepala PPSDAL-Lemlit Unpad) sebagaimana dilansir situs http://www.pikiran-rakyat.com (diakses bulan Juli 2007), disebutkan bahwa standar luas kebutuhan taman yang ideal menurut Lancashire Country Council adalah berkisar 7 - 11,5 m2 perorang (Seeley, 1973). Sedangkan dalam Laurie (1996) disebutkan bahwa standar taman untuk bermain minimal 2 acre (sekira 4.000 meter persegi) dan letaknya sekira 0,5 mil dari rumah; taman lingkungan minimal 1 acre/800 orang, dan taman rekreasi sekitar 32 acre.
Sementara itu, The Greater London Council membuat standar luas taman kota berdasarkan luas dan jarak jangkauan dari tempat tinggal, yaitu taman kecil yang luasnya kurang dari 2 ha dengan jarak yang dapat ditempuh dengan jalan kaki; taman menengah luasnya sekira 20 ha yang terletak sekira 1,5 km dari perumahan; dan taman besar dengan luas minimal 60 ha dengan jarak sekitar 8 km dari perumahan. Disamping itu, ada pula yang menentukan bahwa total luas taman kota yang ideal adalah minimal 10% dari total luas wilayah kota.

Di Malaysia, ditetapkan bahwa standar pemenuhan kebutuhan tamannya adalah 1,9 m2/orang, sementara di Jepang minimal 5 m2/orang (Tong Yiew, 1991). Pada masa kolonial, dalam rangka mewujudkan Kota Bandung sebagai tuin stad atau kota taman, pada tahun 1929 dibuat Plan Karsten yang didalamnya disebutkan bahwa standar khusus ruang terbuka dalam bentuk taman adalah 6,7 m2/orang. (Kunto, 1986). Hasil penelitian Thomas Nix tahun 1941, menyebutkan bahwa standar kebutuhan taman di Bandung adalah 3,5 m2/orang.
3.12. Beberapa Rencana Urban Space di Kota Surakarta
Bentuk rencana kongkrit yang siap dioperasionalkan di daerah (Kota / Kabupaten) tentang pengembangan ruang hijau kota biasanya diwadahi dalam bentuk RTBL yang dilanjutkan dengan DED.
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) merupakan istilah umum untuk menyebut Rencana Teknik Ruang Kota Kawasan Perkotaan (RTRK). Rencana Teknik Ruang Kota Kawasan Perkotaan merupakan penjabaran dari RDTRK berupa rencana geometrik pemanfaatan runag kawasan perkotaan yang disusun untuk perwujudan ruang kawasan perkotaan dalam rangka pembangunan kawasan kota.Dalam hal RDTRK belum ada, maka RTBL ini dapat diturunkan dari RTRW Kota melalui proses penentuan kawasan perencanaan.
Sedangkan DED adalah Detail Engineering Development, merupakan gambar detail yang siap dibangun. Pada gambar ini
memuat secara detail gambar-gambar arsitektural maupun gambar teknik konstruksinya. Jika DED ini telah ada, maka secara langsung rencana dapat diwujudkan dalam bentuk bangunan fisik.
Beberapa gambar proyek pengembangan urban space dan penataan PKL di kota Surakarta dapat dilihat pada VCD ”Seputar Perencanaan City walk di Kota Surakarta” atau website: http://www.ums.ac.id/fakultasteknik/jurusanarsitektur/ruhiko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar