Apa Itu Ruang
Publik?
Oleh YUDHI DZULFADLI BAIHAQI
Cities have the capability of providing
something for everyone, only because, and only when, they created by everybody
(Jane Jacobs, "The Death and Life of Great American Cities").
DALAM tulisannya "Babakan Siliwangi Sebagai
Kawasan Publik" (20/2), Budi Rijanto mengungkapkan mimpinya untuk
menjadikan kawasan Babakan Siliwangi sebagai kawasan publik. Ia menyebut ITB
sebagai operator, sedangkan owner adalah publik. Dengan dalih ITB
sebagai pihak yang paling "berkepentingan", dalam mewujudkan
mimpinya, ia juga mengungkapkan dibutuhkannya sektor publik (diwakili pemkot
sebagai fasilitator dan ITB sebagai operator) sebagai promoter, dan sektor
privat diposisikan sebagai financeer.
Saya akan menanggapinya dengan menjelaskan ruang
publik dan esensi kebutuhannya.
Kaitannya dengan ruang kota ,
berbagai kepentingan dalam publik menyebabkan ruang kota bukan sebagai ruang statis, ataupun
dinamis, tiga dimensi. Ruang kota
bukanlah rongga tiga dimensi geometri Euclidean yang dapat diterjemahkan begitu
saja dalam bentuk peta-peta. Dinamika kota
harus dilihat melalui apa yang disebut Henri Lefebvre sebagai ruang sosial,
yaitu ruang sebagai produk sosial dan politik, ruang sebagai produk dengan
orang membeli dan menjual. Setiap masyarakat memproduksi ruangnya sendiri
sehingga proses produksi yang harus dijadikan objek perhatian, bukan
"sesuatu" dalam ruang meski proses dan hasil tak terpisahkan.
Melalui Lefebvre, pemahaman ruang (kota ) dibawa kepada proses
ruang diproduksi dengan melihat ruang (sosial) sebagai produk sosial dan
politik, ruang yang politis, dan ideologis. Ruang sosial dalam perspektif
Lefebvre merupakan tritunggal. Pertama, "praktik spasial" yang
merujuk pada cara ruang disusun dan digunakan. Ruang yang dipahami dalam kaitan
yang erat antara realitas kehidupan sehari-hari dan realitas kota .
Kedua, "representasi ruang" (diskursus
dalam ruang), imajinatif, dan konseptual. Ruang para ilmuwan, perencana, dan
perekayasa sosial, atau ruang yang dibentuk profesional dan kapitalis. Inilah
"ruang yang dominan pada setiap masyarakat". Ketiga, "ruang representasional"
(diskursus ruang), kompleks, dan tidak pernah benar-benar diketahui. Ruang yang
dipahami melalui arti nonverbal. Ruang inilah yang didominasi. Lefebvre
berargumentasi bahwa tritunggal tersebut seharusnya saling dihubungkan satu sama
lain (trialektika).
Akan tetapi, dominasi kapitalis dan profesional
perencana dan perancang saat ini membuat hubungan timbal balik antara ketiganya
sulit dilakukan. Homogenitas dan tidak dihargainya perbedaan membuat Lefebvre
menyatakan perlunya ruang baru untuk berkonfrontasi terhadapnya, yaitu dengan
mempromosikan "hak untuk berbeda" yang menekankan perbedaan dan
diversitas untuk memproduksi ruang baru yang ia sebut "ruang
diferensial".
Isu perbedaan dan diversitas telah menjadi
perhatian semenjak kota-kota modern menunjukkan ketidakmampuannya untuk
menghargai atau hidup bersama perbedaan. Sebagai contoh, Jane Jacobs menekankan
"diversitas" sebagai kata kunci untuk menentang perencanaan dan
pembangunan di kota-kota besar Amerika yang tidak mampu mendukung kealamiahan
kehidupan kota yang jauh dari asumsi-asumsi
perencanaan kota
yang mekanistik. Jauh sebelumnya Aristoteles telah mengungkapkan, "Kota terbentuk dari berbagai macam manusia, kelompok
manusia yang sama tidak dapat mewujudkan eksistensi kota ."
Kota Bandung sekarang ini menunjukkan peranan
kapitalis dan profesional, atau momen "representasi ruang" menurut
Lefebvre, menciptakan homogenitas dalam ruang dan kolonisasi kehidupan
sehari-hari melalui sistem kekuasaan birokrasi, yang salah satu produknya
adalah rencana tata ruang. Perbedaan dan diversitas sulit diterima karena para
ahli mendominasi interpretasi ruang.
Di sisi lain ruang kota tidak pernah selesai. Selalu berproses
melalui pergumulan berbagai kepentingan. Ruang (sosial) adalah politis dan
ideologis dan -- disadari atau tidak -- selalu ada bentuk perlawanan untuk
menciptakan ruang diferensial. Di antaranya melalui kreativitas dan spontanitas
publik yang sangat berbeda dengan standar dan zoning yang ketat dan
mekanistik. Itulah sebabnya rencana tata ruang sulit menjadi kesepakatan
bersama. Publik memiliki logikanya sendiri yang hidup melalui realitas
kehidupan sehari-hari, bukan peta-peta peruntukan lahan yang mekanistik.
Ruang publik
Ruang publik merupakan ruang untuk mempromosikan
sekaligus menghargai hak untuk berbeda. Ekspresi perbedaan, spontanitas, dan
kreativitas adalah bagian dari kehidupan sehari-hari pada ruang publik. Ruang
publik harus bebas biaya, bebas dari rasa takut, terbuka untuk berbagai
kalangan termasuk orang miskin, dan bebas dari hambatan fisik. Jalan, taman,
dan lapangan terbuka adalah ruang publik yang membuat kita kontak dan hidup
bersama perbedaan. Kebebasan individu dan kelompok diakui asalkan tidak
mengganggu yang lain.
Akan tetapi, ini pun mendapat tantangan semenjak
privatisasi ruang publik. Bukan hanya ruang publik yang diubah menjadi
komersial, melainkan juga penciptaan ruang publik oleh sektor privat. Di sisi
lain, banyak ruang publik yang sengaja diciptakan pemerintah, atau ruang publik
formal, kalah populer dibanding dengan yang diciptakan sektor privat.
Dari hasil penelitian saya, kawasan Babakan
Siliwangi yang kini diributkan merupakan contoh kesuksesan komunitas mengelola
dan menghidupkan suatu kawasan publik di tengah-tengah kota . Juga Taman Ganesha yang memiliki seorang
kuncen, yang menjadikan taman aman dan nyaman didatangi. Sementara banyak taman
kota identik
dengan kegelapan dan tampak menakutkan, kedua tempat tersebut relatif punya
kehidupan yang menjaga dan memastikan kawasannya aman.
Ruang publik, karena itu, menjadi istimewa justru
ketika publik sendiri yang menjaga dan mengelolanya. Tentu saja peran
pemerintah tetap dibutuhkan, hanya keterlibatan publik yang lebih besar
menunjukkan keberhasilan sebuah ruang publik termasuk posisi strategisnya guna
membentuk ruang diskursus dari sekadar tempat untuk bertemu. Ruang publik
seperti demikian yang mewarnai dan dibutuhkan dalam masyarakat demokratis.
Sabuga dan Pusat Olah Raga Ganesha tidak akan
pernah menjadi milik publik yang sesungguhnya selama akses pada publik terbatas.
Fungsi ITB sebagai operator berbeda dengan fungsi komunitas yang mengelola
ruang publik. Bentuk kesukarelawanan dan kebebasan berekspresi tidak akan
ditemukan pada tempat yang telah ditentukan fungsi kegunaannya secara ketat.
Selain itu, pada ruang publik tidak pernah ada
pihak yang paling berkepentingan. Jika salah satu pihak menganggap dirinya
paling berkepentingan, fungsi ruang publik tersebut telah berubah. Akses publik
menjadi terbatas, tidak hanya akses fisik, tapi juga akses pada kebebasan berekspresi.
Oleh karena itu, ITB tidak akan pernah menjadi
representasi publik dalam urusan kawasan Babakan Siliwangi, warga Kota Bandung
baik individu maupun organisasi atau institusi lain memiliki kepentingan yang
tidak kalah dibanding ITB. Komunitas seniman yang telah puluhan tahun hidup dan
beraktivitas di Babakan Siliwangi termasuk pihak yang berkepentingan, begitu
pun warga di sekitarnya.
Akses kepentingan pada ruang publik tidak hanya
pada produk yang ditawarkan, tapi juga proses. Selama perencanaan dan
pembangunan di Babakan Siliwangi tidak melibatkan berbagai kepentingan dalam
prosesnya, maka hak publik telah dicabut.
Menuju perbedaan.
Dalam kehidupan sehari-hari, ruang kota dipahami melalui
jaringan yang menghubungkan tempat kerja, rekreasi, dan kehidupan pribadi.
Seperti itulah setidaknya ruang yang dibentuk kapitalis dan perencana. Lalu, di
mana tempat publik mengekspresikan perbedaannya? Sejauh ini, selama
"representasi ruang" kapitalis dan profesional (dan ahli) mendominasi
dalam masyarakat, maka pada ruang publiklah perbedaan dan diversitas hidup
dalam bentuk diskursus verbal maupun nonverbal, eksplisit maupun implisit,
untuk mengimbangi dominasi dan penghancuran diversitas.
Penulis adalah pejalan kaki dan warga Kota Bandung .
Membangun Ruang Publik Milik Bersama
Sayangnya, para pengelola perkotaan lupa bahwa
sukses pembangunan Jakarta bisa terhambat oleh
krisis lingkungan yang utamanya disebabkan oleh urban sprawl (peluberan kota ). Kawasan Jabotabek
dihuni 18 juta orang yang akan terus bertambah jumlahnya, penyebarannya meluas
secara horisontal dan rakus tanah, melahap tanah pertanian, padang rumput, dan hutan. Pembangunan yang
terjadi di sepanjang Kali Malang, kawasan Depok, Jalan Daan Mogot, kawasan
Fatmawati-Pondok Labu-Cinere dan kawasan Bintaro, merupakan contoh konkret
peluberan kota penyebab krisis lingkungan.
Jaringan jalan bebas hambatan secara tidak
langsung ikut memperlancar perusakan lingkungan dengan memberi akses kepada
daerah-daerah yang tadinya merupakan kawasan hutan, tanah sawah, tanah rawa
atau padang rumput di pinggiran Jakarta . Kompleks
perumahan yang masif dibangun di sana
yang akhirnya menghasilkan kemacetan, polusi udara dan tanah, kebisingan,
pemborosan energi dan kesenjangan sosial.
Bila pembangunan jalan lingkar luar telah selesai
dan menyambung seluruhnya dengan jalan lingkar dalam, lalu struktur Kota
Jakarta dianggap selesai karena telah mencapai batas-batas wilayah administrasi
di Jakarta ,
juga jaringan jalan ini bisa disebut sempurna. Jalan lingkar luar sepanjang
sekitar 90 kilometer dan lingkar dalam 40 kilometer, yang menjadi memorabilia
para konglomerat yang berpacu menggenjot penguasaan kapital, telah merusak
jalur hijau. Jalur tersebut yang beberapa di antaranya melayang, sebetulnya
meninggalkan banyak ruang kosong yang sampai sekarang tidak pernah ditangani
secara konseptual. Yang terjadi adalah pola pengembangan kota yang tidak tertangani secara konseptual.
Bila sepanjang jalur lingkar ruang ditetapkan sebagai jalur hijau, sebenarnya
ada kesempatan untuk mendapatkanm 300 hektar ruang hijau baru!
***
SECARA fisik, Kota Jakarta sebagai bentuk dan
ruang sebuah metropolis bisa diidentifikasi melalui lima hal.
Pertama, terjadinya mutasi di Jakarta yaitu perubahan sangat radikal dalam
skala sangat besar di mana skala pengembangan seperti itu tidak dikenal
sebelumnya. Di dalam kota
ada pengembangan kawasan seperti Sudirman Business District, Grand Kuningan,
Kuningan Bentala, dan sebagainya. Di pinggiran Jakarta
ada Bintaro, Cinere, Bumi Serpong Damai, yang terpadu hanya di dalam kawasan
tersebut tetapi tidak dengan bagian kota
lainnya. Pembangunan kawasan ini cenderung mengabaikan keadaan sekelilingnya,
kecuali hal-hal yang bisa meningkatkan kualitas atau nilai properti mereka.
Kedua, pergerakan yaitu transportasi yang
cenderung menguntungkan kendaraan pribadi. Dalam membangun transportasi Jakarta mungkin bisa
bercermin pada Kota Curitibas di Brasilia, dimana bus mendapat prioritas dan
jalur khusus sehingga kelancaran dan ketepatan waktu sampai di tujuan bisa
dijamin. Curitibas memilih pengembangan bus karena kereta api bawah tanah (subway)
terlalu mahal. Meskipun tingkat kepemilikan mobil tinggi, 1,2 per kapita,
tetapi 70 persen penduduk memilih naik bus.
Ketiga, perumahan. Tanah dalam kaitan ini
dianggap sebagai komoditas sehingga harganya ditentukan pasar. Deregulasi
ekonomi pada tahun 1980-an yang memberi kesempatan swasta memiliki tanah dengan
lebih longgar mendorong berkembangnya kantung-kantung perumahan di pinggir Jakarta yang menyebar (sprawling)
dalam bentuk acak dan melompat. Konsekuensi pengembangan cara ini adalah
borosnya infrastruktur yang harus melayani dan menghubungkan kantung-kantung
pengembangan ini yang seringkali tidak punya sistem yang saling menghubungkan.
Belakangan sebelum terjadi krisis, terjadi upaya
pembangunan perumahan di tengah kota ,
tetapi berupa menara apartemen yang eksklusif dan ruang di sekelilingnya tidak
bisa diakses publik. Ditambah pertimbangan pemasaran properti itu, rumah-rumah
itu miskin heterogenitas. Yang muncul kemudian bukan cuma masalah fisik tetapi
juga masalah sosial yang ditandai antara lain oleh pendirian pagar tinggi yang
membatasi kompleks perumahan lengkap dengan satpam yang berjaga 24 jam.
Tanah yang berhubungan dengan rumah lalu juga
menjadi bahan mencari untung. Akibatnya semakin sulit orang yang kurang mampu
memiliki rumah atau mereka terpaksa membeli rumah di daerah pinggiran. Hal ini
semakin menyusahkan kehidupan mereka karena tempat kerja mereka berada di
tengah kota .
Biaya transportasi menjadi lebih mahal.
Keempat, kontainer yaitu bangunan yang mampu
menampung berbagai benda sekaligus melindungi isinya dari luar. Gejala ini
muncul sebagai kapitalisme lanjut masyarakat konsumtif. Contohnya adalah
menjamurnya shopping mall, hypermarket, convention hall, bahkan museum.
Pengembangan kawasan baru dianggap belum lengkap bila tidak menyertakan mal
sebagai ikonnya. Dengan ciri arsitektur yang mencomot berbagai citra dari
berbagai belahan dunia disertai lautan parkir di sekelilingnya, lengkap sudah
ritual belanja sebuah masyarakat
konsumtif.
Ruang parkir itu padahal menjadi ruang kota yang negatif yang malam hari berubah menjadi ruang
yang jauh dari kehidupan kota
dan rawan berbagai kegiatan asosial. Mal seperti Taman Anggrek, menjadi
kontainer yang terpisah dari kehidupan kota
sekelilingnya. Untuk pejalan kaki, diperlukan perjuangan untuk mencapainya. Begitu Jakarta
Hilton Convention
Center , sebagai pusat kegiatan yang sering
dikunjungi seluruh lapisan masyarakat, ia sangat tidak nyaman dicapai dengan
kaki. Padahal, bentuk kontainer tidak selalu berarti negatif sepanjang bisa
menjawab secara positif ruang di mana ia berada. Plaza Indonesia adalah contoh kontainer
yang mencoba merespons bundaran Hotel Indonesia dengan meletakkan bangunannya
mendekati jalan dan jalur pejalan kaki, serta menyediakan gerbang masuk untuk
pejalan kaki. Pasar Gede Solo yang musnah terbakar juga jenis kontainer yang
baik, karena mampu mengakomodasi kegitan di dalam pasar maupun di ruang kota di sekitar bangunan
dengan menyediakan fungsi perdagangan eceran di sepanjang tepi luar bangunan
(perimeter). Bangunan seperti ini yang semakin sulit ditemui di Jakarta .
Masalahnya, Jakarta
sebagai kota
peninggalan kolonial tidak memiliki aturan kualitas kota-kota kolonial Spanyol
yang dikembangkan berdasarkan aturan yang ketat.
Kelima, ruang-ruang tersisa yang terdapat di
antara bangunan industri yang tidak jelas pemanfaatannya, bangunan di bawah
jalan layang atau di kawasan pelabuhan tua yang mulai ditinggalkan. Ruang-ruang
itu menunjukkan Jakarta
tidak kekurangan ruang terbuka, melainkan ruang terbuka itu terjadi dalam
pengembangan yang terfragmentasi. Yang diperlukan adalah kesensitifan untuk
memanfaatkan ruang terbuka yang di seputar jalan lingkar luar saja jumlah bisa
300 hektar.
***
UNTUK mencegah terjadinya pelebaran kota yang tidak berbentuk, Jabotabek harus menetapkan
batas pertumbuhan kota
secara tegas. Batas kota akan mendorong
terjadinya pembangunan dan penggunaan-campuran, memudahkan mengintensifkan
jaringan infrastruktur, dan merangsang kegiatan pembangunan di tengah kota .
Masih banyak kantung tanah di tengah kota yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan di dalam kota , seperti kawasan
segitiga Kuningan-Sudirman-Thamrin. Yang perlu dilakukan adalah memberi
insentif kepada pengembang yang melakukannya.
Rencana pembangunan kereta api bawah tanah poros
utara-selatan perlu dicermati karena jangan-jangan hanya akan menguntungkan
kelompok menengah-atas dan semakin mendorong peluberan kota ke arah selatan.
Perubahan politik dalam negeri pada tahun 1998
membuka mata warga bahwa mereka juga bisa ikut berperan dalam pembangunan
kotanya. Dengan memanfaatkan prinsip perancangan kota
untuk mempertahankan keberadaan kelompok masyarakat serta menciptakan sense
of place, dan mempromosikan pembangunan berorientasi skala kelurahan dan
kecamatan, kota
punya kesempatan untuk tumbuh dari bawah (masyarakat) ke atas (pemerintah).
Dalam konteks ini, masyarakat arsitek ditantang
untuk tidak sekadar menjadi tenaga ahli penyedia produk, tetapi juga menjadi
fasilitator dan pemberdaya bagi kelompok masyarakat untuk bisa mengatasi
sendiri masalah permukiman. Almarhum Romo YB Mangunwijaya, Hasan Poerbo dan
Johan Silas, adalah tiga arsitek yang bisa menjadi contoh bagi arsitek yang
terpanggil untuk mengasah keahliannya sebagai "aristek
berkaki-telanjang" untuk sebuah pembangunan yang berbasis komunitas masyarakat.
Kompas
23-06-2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar