Minggu, 15 Juli 2012

Apa Itu Ruang Publik?


Apa Itu Ruang Publik?

Oleh YUDHI DZULFADLI BAIHAQI

Cities have the capability of providing something for everyone, only because, and only when, they created by everybody (Jane Jacobs, "The Death and Life of Great American Cities").
DALAM tulisannya "Babakan Siliwangi Sebagai Kawasan Publik" (20/2), Budi Rijanto mengungkapkan mimpinya untuk menjadikan kawasan Babakan Siliwangi sebagai kawasan publik. Ia menyebut ITB sebagai operator, sedangkan owner adalah publik. Dengan dalih ITB sebagai pihak yang paling "berkepentingan", dalam mewujudkan mimpinya, ia juga mengungkapkan dibutuhkannya sektor publik (diwakili pemkot sebagai fasilitator dan ITB sebagai operator) sebagai promoter, dan sektor privat diposisikan sebagai financeer.
Saya akan menanggapinya dengan menjelaskan ruang publik dan esensi kebutuhannya.
Ada anggapan dalam perencanaan dan pembangunan kota yang acap kali menyederhanakan kepentingannya menjadi segitiga antara pemerintah, swasta, dan publik. Publik tidak sesederhana kelompok manusia yang "satu suara" dan "satu kepentingan", dan publik bukan "kumpulan orang banyak atau umum". Generalisasi publik menjadi masyarakat umum mengabaikan berbagai kepentingan dan perdebatan yang merupakan bagian dari masyarakat demokratis.
Kaitannya dengan ruang kota, berbagai kepentingan dalam publik menyebabkan ruang kota bukan sebagai ruang statis, ataupun dinamis, tiga dimensi. Ruang kota bukanlah rongga tiga dimensi geometri Euclidean yang dapat diterjemahkan begitu saja dalam bentuk peta-peta. Dinamika kota harus dilihat melalui apa yang disebut Henri Lefebvre sebagai ruang sosial, yaitu ruang sebagai produk sosial dan politik, ruang sebagai produk dengan orang membeli dan menjual. Setiap masyarakat memproduksi ruangnya sendiri sehingga proses produksi yang harus dijadikan objek perhatian, bukan "sesuatu" dalam ruang meski proses dan hasil tak terpisahkan.
Melalui Lefebvre, pemahaman ruang (kota) dibawa kepada proses ruang diproduksi dengan melihat ruang (sosial) sebagai produk sosial dan politik, ruang yang politis, dan ideologis. Ruang sosial dalam perspektif Lefebvre merupakan tritunggal. Pertama, "praktik spasial" yang merujuk pada cara ruang disusun dan digunakan. Ruang yang dipahami dalam kaitan yang erat antara realitas kehidupan sehari-hari dan realitas kota.
Kedua, "representasi ruang" (diskursus dalam ruang), imajinatif, dan konseptual. Ruang para ilmuwan, perencana, dan perekayasa sosial, atau ruang yang dibentuk profesional dan kapitalis. Inilah "ruang yang dominan pada setiap masyarakat". Ketiga, "ruang representasional" (diskursus ruang), kompleks, dan tidak pernah benar-benar diketahui. Ruang yang dipahami melalui arti nonverbal. Ruang inilah yang didominasi. Lefebvre berargumentasi bahwa tritunggal tersebut seharusnya saling dihubungkan satu sama lain (trialektika).
Akan tetapi, dominasi kapitalis dan profesional perencana dan perancang saat ini membuat hubungan timbal balik antara ketiganya sulit dilakukan. Homogenitas dan tidak dihargainya perbedaan membuat Lefebvre menyatakan perlunya ruang baru untuk berkonfrontasi terhadapnya, yaitu dengan mempromosikan "hak untuk berbeda" yang menekankan perbedaan dan diversitas untuk memproduksi ruang baru yang ia sebut "ruang diferensial".
Isu perbedaan dan diversitas telah menjadi perhatian semenjak kota-kota modern menunjukkan ketidakmampuannya untuk menghargai atau hidup bersama perbedaan. Sebagai contoh, Jane Jacobs menekankan "diversitas" sebagai kata kunci untuk menentang perencanaan dan pembangunan di kota-kota besar Amerika yang tidak mampu mendukung kealamiahan kehidupan kota yang jauh dari asumsi-asumsi perencanaan kota yang mekanistik. Jauh sebelumnya Aristoteles telah mengungkapkan, "Kota terbentuk dari berbagai macam manusia, kelompok manusia yang sama tidak dapat mewujudkan eksistensi kota."
Kota Bandung sekarang ini menunjukkan peranan kapitalis dan profesional, atau momen "representasi ruang" menurut Lefebvre, menciptakan homogenitas dalam ruang dan kolonisasi kehidupan sehari-hari melalui sistem kekuasaan birokrasi, yang salah satu produknya adalah rencana tata ruang. Perbedaan dan diversitas sulit diterima karena para ahli mendominasi interpretasi ruang.
Di sisi lain ruang kota tidak pernah selesai. Selalu berproses melalui pergumulan berbagai kepentingan. Ruang (sosial) adalah politis dan ideologis dan -- disadari atau tidak -- selalu ada bentuk perlawanan untuk menciptakan ruang diferensial. Di antaranya melalui kreativitas dan spontanitas publik yang sangat berbeda dengan standar dan zoning yang ketat dan mekanistik. Itulah sebabnya rencana tata ruang sulit menjadi kesepakatan bersama. Publik memiliki logikanya sendiri yang hidup melalui realitas kehidupan sehari-hari, bukan peta-peta peruntukan lahan yang mekanistik.
Ruang publik
Ruang publik merupakan ruang untuk mempromosikan sekaligus menghargai hak untuk berbeda. Ekspresi perbedaan, spontanitas, dan kreativitas adalah bagian dari kehidupan sehari-hari pada ruang publik. Ruang publik harus bebas biaya, bebas dari rasa takut, terbuka untuk berbagai kalangan termasuk orang miskin, dan bebas dari hambatan fisik. Jalan, taman, dan lapangan terbuka adalah ruang publik yang membuat kita kontak dan hidup bersama perbedaan. Kebebasan individu dan kelompok diakui asalkan tidak mengganggu yang lain.
Akan tetapi, ini pun mendapat tantangan semenjak privatisasi ruang publik. Bukan hanya ruang publik yang diubah menjadi komersial, melainkan juga penciptaan ruang publik oleh sektor privat. Di sisi lain, banyak ruang publik yang sengaja diciptakan pemerintah, atau ruang publik formal, kalah populer dibanding dengan yang diciptakan sektor privat.
Dari hasil penelitian saya, kawasan Babakan Siliwangi yang kini diributkan merupakan contoh kesuksesan komunitas mengelola dan menghidupkan suatu kawasan publik di tengah-tengah kota. Juga Taman Ganesha yang memiliki seorang kuncen, yang menjadikan taman aman dan nyaman didatangi. Sementara banyak taman kota identik dengan kegelapan dan tampak menakutkan, kedua tempat tersebut relatif punya kehidupan yang menjaga dan memastikan kawasannya aman.
Ruang publik, karena itu, menjadi istimewa justru ketika publik sendiri yang menjaga dan mengelolanya. Tentu saja peran pemerintah tetap dibutuhkan, hanya keterlibatan publik yang lebih besar menunjukkan keberhasilan sebuah ruang publik termasuk posisi strategisnya guna membentuk ruang diskursus dari sekadar tempat untuk bertemu. Ruang publik seperti demikian yang mewarnai dan dibutuhkan dalam masyarakat demokratis.
Sabuga dan Pusat Olah Raga Ganesha tidak akan pernah menjadi milik publik yang sesungguhnya selama akses pada publik terbatas. Fungsi ITB sebagai operator berbeda dengan fungsi komunitas yang mengelola ruang publik. Bentuk kesukarelawanan dan kebebasan berekspresi tidak akan ditemukan pada tempat yang telah ditentukan fungsi kegunaannya secara ketat.
Selain itu, pada ruang publik tidak pernah ada pihak yang paling berkepentingan. Jika salah satu pihak menganggap dirinya paling berkepentingan, fungsi ruang publik tersebut telah berubah. Akses publik menjadi terbatas, tidak hanya akses fisik, tapi juga akses pada kebebasan berekspresi.
Oleh karena itu, ITB tidak akan pernah menjadi representasi publik dalam urusan kawasan Babakan Siliwangi, warga Kota Bandung baik individu maupun organisasi atau institusi lain memiliki kepentingan yang tidak kalah dibanding ITB. Komunitas seniman yang telah puluhan tahun hidup dan beraktivitas di Babakan Siliwangi termasuk pihak yang berkepentingan, begitu pun warga di sekitarnya.
Akses kepentingan pada ruang publik tidak hanya pada produk yang ditawarkan, tapi juga proses. Selama perencanaan dan pembangunan di Babakan Siliwangi tidak melibatkan berbagai kepentingan dalam prosesnya, maka hak publik telah dicabut.
Menuju perbedaan.
Dalam kehidupan sehari-hari, ruang kota dipahami melalui jaringan yang menghubungkan tempat kerja, rekreasi, dan kehidupan pribadi. Seperti itulah setidaknya ruang yang dibentuk kapitalis dan perencana. Lalu, di mana tempat publik mengekspresikan perbedaannya? Sejauh ini, selama "representasi ruang" kapitalis dan profesional (dan ahli) mendominasi dalam masyarakat, maka pada ruang publiklah perbedaan dan diversitas hidup dalam bentuk diskursus verbal maupun nonverbal, eksplisit maupun implisit, untuk mengimbangi dominasi dan penghancuran diversitas.
Kota bukan laboratorium untuk melakukan tes setiap teori atau impian. Lebih baik ikuti nasihat Jane Jacobs, yang dibutuhkan adalah duduk tenang dan sensitif pada lingkungan di sekitar kita. Kesadaran sensitif yang mungkin hanya didapat dari sastrawan dan pelukis.***  
Penulis adalah pejalan kaki dan warga Kota Bandung.


Membangun Ruang Publik Milik Bersama
JAKARTA adalah sebuah kota di negara miskin dengan penduduk yang secara sosial ekonomi tidak seragam, bahkan timpang. Sebagaimana kota-kota di negara miskin dan berkembang, Jakarta juga berhadapan dengan kekuatan ekonomi politik lokal dan ekonomi global, Jakarta juga berhadapan dengan tekanan dari dalam seperti pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi, kemiskinan, buruknya sistem infrastuktur dan penurunan kualitas lingkungan. Deregulasi ekonomi pada pertengahan tahun 1980-an yang memungkinkan peran swasta dalam "pembangunan" Jakarta membuat Jakarta tumbuh sangat cepat. Pertumbuhan itu bukan bertumpu pada kegiatan industri, tetapi pada kuatnya koalisi pemerintah-swasta yang memiliki interest pada akumulasi yang berdasarkan investasi dalam lingkungan binaan. Hasilnya adalah tumbuhnya kantor-kantor sewa, apartemen, sarana perbelanjaan, perumahan dan infrastrukturnya.
Sayangnya, para pengelola perkotaan lupa bahwa sukses pembangunan Jakarta bisa terhambat oleh krisis lingkungan yang utamanya disebabkan oleh urban sprawl (peluberan kota). Kawasan Jabotabek dihuni 18 juta orang yang akan terus bertambah jumlahnya, penyebarannya meluas secara horisontal dan rakus tanah, melahap tanah pertanian, padang rumput, dan hutan. Pembangunan yang terjadi di sepanjang Kali Malang, kawasan Depok, Jalan Daan Mogot, kawasan Fatmawati-Pondok Labu-Cinere dan kawasan Bintaro, merupakan contoh konkret peluberan kota penyebab krisis lingkungan.
Jaringan jalan bebas hambatan secara tidak langsung ikut memperlancar perusakan lingkungan dengan memberi akses kepada daerah-daerah yang tadinya merupakan kawasan hutan, tanah sawah, tanah rawa atau padang rumput di pinggiran Jakarta. Kompleks perumahan yang masif dibangun di sana yang akhirnya menghasilkan kemacetan, polusi udara dan tanah, kebisingan, pemborosan energi dan kesenjangan sosial.
Bila pembangunan jalan lingkar luar telah selesai dan menyambung seluruhnya dengan jalan lingkar dalam, lalu struktur Kota Jakarta dianggap selesai karena telah mencapai batas-batas wilayah administrasi di Jakarta, juga jaringan jalan ini bisa disebut sempurna. Jalan lingkar luar sepanjang sekitar 90 kilometer dan lingkar dalam 40 kilometer, yang menjadi memorabilia para konglomerat yang berpacu menggenjot penguasaan kapital, telah merusak jalur hijau. Jalur tersebut yang beberapa di antaranya melayang, sebetulnya meninggalkan banyak ruang kosong yang sampai sekarang tidak pernah ditangani secara konseptual. Yang terjadi adalah pola pengembangan kota yang tidak tertangani secara konseptual. Bila sepanjang jalur lingkar ruang ditetapkan sebagai jalur hijau, sebenarnya ada kesempatan untuk mendapatkanm 300 hektar ruang hijau baru!

***

SECARA fisik, Kota Jakarta sebagai bentuk dan ruang sebuah metropolis bisa diidentifikasi melalui lima hal.
Pertama, terjadinya mutasi di Jakarta yaitu perubahan sangat radikal dalam skala sangat besar di mana skala pengembangan seperti itu tidak dikenal sebelumnya. Di dalam kota ada pengembangan kawasan seperti Sudirman Business District, Grand Kuningan, Kuningan Bentala, dan sebagainya. Di pinggiran Jakarta ada Bintaro, Cinere, Bumi Serpong Damai, yang terpadu hanya di dalam kawasan tersebut tetapi tidak dengan bagian kota lainnya. Pembangunan kawasan ini cenderung mengabaikan keadaan sekelilingnya, kecuali hal-hal yang bisa meningkatkan kualitas atau nilai properti mereka.
Kedua, pergerakan yaitu transportasi yang cenderung menguntungkan kendaraan pribadi. Dalam membangun transportasi Jakarta mungkin bisa bercermin pada Kota Curitibas di Brasilia, dimana bus mendapat prioritas dan jalur khusus sehingga kelancaran dan ketepatan waktu sampai di tujuan bisa dijamin. Curitibas memilih pengembangan bus karena kereta api bawah tanah (subway) terlalu mahal. Meskipun tingkat kepemilikan mobil tinggi, 1,2 per kapita, tetapi 70 persen penduduk memilih naik bus.
Ketiga, perumahan. Tanah dalam kaitan ini dianggap sebagai komoditas sehingga harganya ditentukan pasar. Deregulasi ekonomi pada tahun 1980-an yang memberi kesempatan swasta memiliki tanah dengan lebih longgar mendorong berkembangnya kantung-kantung perumahan di pinggir Jakarta yang menyebar (sprawling) dalam bentuk acak dan melompat. Konsekuensi pengembangan cara ini adalah borosnya infrastruktur yang harus melayani dan menghubungkan kantung-kantung pengembangan ini yang seringkali tidak punya sistem yang saling menghubungkan.
Belakangan sebelum terjadi krisis, terjadi upaya pembangunan perumahan di tengah kota, tetapi berupa menara apartemen yang eksklusif dan ruang di sekelilingnya tidak bisa diakses publik. Ditambah pertimbangan pemasaran properti itu, rumah-rumah itu miskin heterogenitas. Yang muncul kemudian bukan cuma masalah fisik tetapi juga masalah sosial yang ditandai antara lain oleh pendirian pagar tinggi yang membatasi kompleks perumahan lengkap dengan satpam yang berjaga 24 jam.
Tanah yang berhubungan dengan rumah lalu juga menjadi bahan mencari untung. Akibatnya semakin sulit orang yang kurang mampu memiliki rumah atau mereka terpaksa membeli rumah di daerah pinggiran. Hal ini semakin menyusahkan kehidupan mereka karena tempat kerja mereka berada di tengah kota. Biaya transportasi menjadi lebih mahal.
Keempat, kontainer yaitu bangunan yang mampu menampung berbagai benda sekaligus melindungi isinya dari luar. Gejala ini muncul sebagai kapitalisme lanjut masyarakat konsumtif. Contohnya adalah menjamurnya shopping mall, hypermarket, convention hall, bahkan museum. Pengembangan kawasan baru dianggap belum lengkap bila tidak menyertakan mal sebagai ikonnya. Dengan ciri arsitektur yang mencomot berbagai citra dari berbagai belahan dunia disertai lautan parkir di sekelilingnya, lengkap sudah ritual belanja sebuah masyarakat konsumtif.
Ruang parkir itu padahal menjadi ruang kota yang negatif yang malam hari berubah menjadi ruang yang jauh dari kehidupan kota dan rawan berbagai kegiatan asosial. Mal seperti Taman Anggrek, menjadi kontainer yang terpisah dari kehidupan kota sekelilingnya. Untuk pejalan kaki, diperlukan perjuangan untuk mencapainya. Begitu Jakarta Hilton Convention Center, sebagai pusat kegiatan yang sering dikunjungi seluruh lapisan masyarakat, ia sangat tidak nyaman dicapai dengan kaki. Padahal, bentuk kontainer tidak selalu berarti negatif sepanjang bisa menjawab secara positif ruang di mana ia berada. Plaza Indonesia adalah contoh kontainer yang mencoba merespons bundaran Hotel Indonesia dengan meletakkan bangunannya mendekati jalan dan jalur pejalan kaki, serta menyediakan gerbang masuk untuk pejalan kaki. Pasar Gede Solo yang musnah terbakar juga jenis kontainer yang baik, karena mampu mengakomodasi kegitan di dalam pasar maupun di ruang kota di sekitar bangunan dengan menyediakan fungsi perdagangan eceran di sepanjang tepi luar bangunan (perimeter). Bangunan seperti ini yang semakin sulit ditemui di Jakarta.
Masalahnya, Jakarta sebagai kota peninggalan kolonial tidak memiliki aturan kualitas kota-kota kolonial Spanyol yang dikembangkan berdasarkan aturan yang ketat.
Kelima, ruang-ruang tersisa yang terdapat di antara bangunan industri yang tidak jelas pemanfaatannya, bangunan di bawah jalan layang atau di kawasan pelabuhan tua yang mulai ditinggalkan. Ruang-ruang itu menunjukkan Jakarta tidak kekurangan ruang terbuka, melainkan ruang terbuka itu terjadi dalam pengembangan yang terfragmentasi. Yang diperlukan adalah kesensitifan untuk memanfaatkan ruang terbuka yang di seputar jalan lingkar luar saja jumlah bisa 300 hektar.

***

UNTUK mencegah terjadinya pelebaran kota yang tidak berbentuk, Jabotabek harus menetapkan batas pertumbuhan kota secara tegas. Batas kota akan mendorong terjadinya pembangunan dan penggunaan-campuran, memudahkan mengintensifkan jaringan infrastruktur, dan merangsang kegiatan pembangunan di tengah kota.
Masih banyak kantung tanah di tengah kota yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan di dalam kota, seperti kawasan segitiga Kuningan-Sudirman-Thamrin. Yang perlu dilakukan adalah memberi insentif kepada pengembang yang melakukannya.
Rencana pembangunan kereta api bawah tanah poros utara-selatan perlu dicermati karena jangan-jangan hanya akan menguntungkan kelompok menengah-atas dan semakin mendorong peluberan kota ke arah selatan.
Perubahan politik dalam negeri pada tahun 1998 membuka mata warga bahwa mereka juga bisa ikut berperan dalam pembangunan kotanya. Dengan memanfaatkan prinsip perancangan kota untuk mempertahankan keberadaan kelompok masyarakat serta menciptakan sense of place, dan mempromosikan pembangunan berorientasi skala kelurahan dan kecamatan, kota punya kesempatan untuk tumbuh dari bawah (masyarakat) ke atas (pemerintah).
Dalam konteks ini, masyarakat arsitek ditantang untuk tidak sekadar menjadi tenaga ahli penyedia produk, tetapi juga menjadi fasilitator dan pemberdaya bagi kelompok masyarakat untuk bisa mengatasi sendiri masalah permukiman. Almarhum Romo YB Mangunwijaya, Hasan Poerbo dan Johan Silas, adalah tiga arsitek yang bisa menjadi contoh bagi arsitek yang terpanggil untuk mengasah keahliannya sebagai "aristek berkaki-telanjang" untuk sebuah pembangunan yang berbasis komunitas masyarakat.
Kompas
23-06-2000







Tidak ada komentar:

Posting Komentar