Minggu, 15 Juli 2012
HUTAN KOTA
HUTAN KOTA
Menurut Djamal (2005), hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar, atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur menyerupai hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman, dan estetis. Agar semua fungsi hutan kota tersebut dapat dimaksimalkan maka perlu dicari dan dikembangkan bentuk dan struktur hutan kota yang mendukungnya.
Berdasarkan Lampiran I Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/MENHUT-V/2004 tanggal 22 Juli 2004, Bagian Ke enam, tentang Pedoman pembuatan Tanaman Penghijauan Kota sebagai Gerakan Nasioanl Rehabilitasi Hutan dan Lahan, antara lain disebutkan bahwa luas minimal hutan kota adalah 0,25 ha dalam satu kesatuan hamparan yang kompak (menyatu), agar tanaman dapat membentuk iklim mikro.
5.1. Bentuk dan Struktur Hutan Kota
Hasil penelitian Zoer’aini Djamal Irwan (1994), hutan kota dapat dikelompokkan berdasarkan kepada bentuk dan strukturnya :
a. Bentuk hutan kota
Bentuk hutan kota tergantung kepada bentuk lahan yang tersedia untuk hutan kota.
b. Struktur hutan kota
Struktur hutan kota adalah komposisi dari jumlah dan keanekaragaman dari komunitas vegetasi yang menyusun hutan kota.
1. Bentuk Hutan Kota
Kawasan hutan kota minimum 0,4 ha, jika berbentuk jalur minimum 30 m lebarnya. Hutan kota meliputi taman, tepi jalan, jalan tol, jalan kereta api, bangunan, lahan terbuka, kawasan padang rumput, kawasan luar kota, kawasan permukiman, kawasan perdagangan, dan kawasan industri. Booth (1979) mengemukakan bahwa jalur hiaju dengan lebar 183 m dapat mengurangi pencemaran udara sampai 75%.
Hutan kota mempunyai fungsi yang efektif terhadap suhu, kelembapan, kebisingan, dan debu sehingga keempat variabel ini dapat mencirikan kelompok hutan kota. Menurut Zoer’aini Djamal Irwan (1994) bentuk hutan kota dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu :
a. Bergerombol atau menumpuk, yaitu hutan kota dengan komunitas vegetasinya terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah vegetasinya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat yang tidak bearturan;
b. Menyebar, yaitu hutan kota yang tidak mempunyai pola tertentu, dengan komunitas vegetasinya tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau bergerombol kecil;
c. Berbentuk jalur, yaitu komunitas vegetasinya tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran, dan sebagainya.
2. Struktur Hutan Kota
Struktur hutan kota ditentukan oleh keanekaragaman vegetasi yang ditanam sehingga terbangun hutan kota yang berlapis-lapis dan berstrata baik vertikal maupun horizontal yang meniru hutan alam. Struktur hutan kota, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan yang menyusun hutan kota. Struktur hutan kota diklasifikasikan menjadi:
a. Berstrata dua, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan hutan kota hanya terdiri dari pepohonan dan rumput atau penutup tanah lainnya;
b. Bersrata banyak, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan hutan kota selain terdiri dari pepohonan dan rumput juga terdapat semak, terna, liana, epifit, ditumbuhi banyak anakan dan penutup tanah, jarak tanam rapat tidak beraturan dengan strata, serta komposisi mengarah meniru komunitas tumbuh-tumbuhan hutan alam.
Struktur hutan kota berstrata banyak dapat dilihat dalam penelitian penanggulangan masalah lingkungan kota yang berhubungan dengan suhu udara, kebisingan, debu, dan kelembaban udara. Hasil analisis secara multidimensi dari lima jenis hutan kota, ternyata hutan kota yang berbentuk menyebar strata benyak paling efektif untuk menanggulangi masalah lingkungan kota di sekitarnya.
Hutan alam tropis menampilkan tiga lapisan pohon. Menurut Samingan, 1975; Ewusie, 1980; Longman dan Jenik, 1974, dan Goley, 1983 dalam Djamal, 2005, lapisan pohon dan lapisan lainnya yang berdiri sendiri seperti belukar, perdu, dan terna adalah sebagai berikut :
1. Paling atas (stratum A). Terdiri dari pepohonan setinggi 30-45m. Pohon tersebut muncul keluar mencuat tinggi di atas, bertajuk lebar, dan umumnya tersebar sedemikian rupa
sehingga tidak saling bersentuhan membentuk lapisan yang berkesinambungan. Bentuk khas tajuknya sering dipakai untuk mengenali spesies dalam suatu wilayah.
2. Lapisan pepohonan yang kedua (stratum B) terletak di bawah pohon yang mencuat. Lapisan ini sering disebut sebagai lapisan tingkat atas yang terdiri dari pepohonan dengan ketinggian 18-27 m. Pepohonan ini tumbuh berdekatan dan cenderung membentuk sodor yang bersinambung. Tajuk sering membulat atau memanjang dan tidak selebar pohon yang mencuat (stratum A).
3. Lapisan pepohonan yang ketiga (stratum C), disebut lapisan tingkat bawah. Terdiri dari pepohonan yang tumbuh sekitar 8-14 m, cenderung rapat dan tegak.
4. Lapisan belukar (stratum D), terdiri dari spesies berkayu dengan ketinggian sekitar 10 m. Ada dua bentuk belukar, yaitu yang mempunyai percabangan dekat ke tanah, tidak mempunyai sumbu utama dan yang menyerupai pohon kecil, mempunyai sumbu yang jelas berupa pohon muda dari spesies pohon yang lebih besar.
5. Lapisan terna (stratum E), terdiri dari tumbuhan kecil, merupakan kecambah (anakan) dari berbagai vegetasi. Biasanya terna tidak banyak dan tergantung kepada banyaknya sinar matahari yang tembus.
Pelapisan vertikal komunitas hutan mempengaruhi penyebaran populasi hewan yang hidup dalam hutan. Beberapa jenis burung dalam kehidupan dan pencarian makanannya terdapat pada pepohonan yang
mencuat tinggi sedangkan pada lapisan yang lebih rendah terdapat herbivor mamalia seperti bajing dan lemur. Sedangkan pada lapisan bawah (dasar) terdapat hewan dasar hutan seperti rusa.
5.2. Tipe Hutan Kota
Pembangunan hutan kota harus sesuai dengan guna lahan (land use) yang dikembangkan. Menurut Djamal (2005), terdapat beberapa tipe hutan kota, yaitu:
a. Tipe Pemukiman
Hutan kota tipe ini lebih dititik-beratkan kepada keindahan, penyejukan, penyediaan habitat satwa khususnya burung, dan tempat bermain dan bersantai.
Hutan kota di daerah pemukiman dapat berupa taman dengan komposisi tanaman pepohonan yang tinggi dikombinasikan dengan semak dan rerumputan.
b. Tipe Kawasan Industri
Kawasan industri yang memiliki kebisingan yang tinggi dan udaranya tercemar, maka harus dibangun hutan kota dengan tipe kawasan industri yang mempunyai fungsi sebagai penyerap pencemar, tempat istirahat bagi pekerja, tempat parkir kendaraan dan keindahan.
Beberapa jenis tanaman telah diketahui kemampuannya dalam menyerap dan menjerap polutan. Dewasa ini juga tengah diteliti ketahanan dari beberapa jenis tanaman terhadap polutan yang dihasilkan oleh suatu pabrik. Dengan demikian informasi ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih jenis-jenis tanaman yang akan dikembangkan di kawasan industri.
c. Tipe Rekreasi dan Keindahan
Manusia dalam kehidupannya tidak hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah seperti makanan dan minuman, tetapi juga berusaha memenuhi kebutuhan rohaniahnya, antara lain rekreasi dan keindahan. Rekreasi dapat didefinisikan sebagai setiap kegiatan manusia untuk memanfaatkan waktu luangnya (Douglass, 1982).
Dewasa ini terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan minat penduduk perkotaan untuk rekreasi, karena kehidupannya semakin sibuk dan semakin besar kemungkinan untuk mendapat stress. Rekreasi pada kawasan hutan kota bertujuan untuk
menyegarkan kembali kondisi badan yang sudah penat dan jenuh dengan kegiatan rutin, supaya siap menghadapi tugas yang baru. Untuk mendapatkan kesegaran diperlukan suatu masa istirahat yang terbebas dari proses berpikir yang rutin sambil menikmati sajian alam yang indah, segar dan penuh ketenangan.
d. Tipe Pelestarian Plasma Nutfah
Hutan konservasi mengandung tujuan untuk mencegah kerusakan perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam. Bentuk hutan kota yang memenuhi kriteria ini antara lain : kebun raya, hutan raya dan kebun binatang. Ada 2 sasaran pembangunan hutan kota untuk pelestarian plasma nutfah yaitu :
1. Sebagai tempat koleksi plasma nutfah, khususnya vegetasi secara ex-situ.
2. Sebagai habitat, khususnya untuk satwa yang akan dilindungi atau dikembangkan
Manusia modern menginginkan back to nature. Hutan kota dapat diarahkan kepada penyediaan habitat burung dan satwa lainnya. Suatu kota sering kali mempunyai kekhasan dalam satwa tertentu, khususnys burung yang perlu diperhatikan kelestariannya. Untuk melestarikan burung tertentu, maka jenis tanaman yang perlu ditanam adalah yang sesuai dengan keperluan hidup satwa yang akan dilindungi atau ingin dikembangkan, misalnya untuk keperluan bersarang, bermain, mencari makan ataupun untuk bertelur.
e. Tipe Perlindungan
Kota yang memiliki kuantitas air tanah yang sedikit dan atau terancam masalah intrusi air laut, maka fungsi hutan yang harus diperhatikan adalah sebagai penyerap, penyimpan dan pemasok air. Maka hutan yang cocok adalah hutan lindung di daerah tangkapan airnya.
Kota dengan kemiringan yang cukup tinggi yang ditandai dengan tebing-tebing yang curam ataupun daerah tepian sungai perlu dijaga dengan membangun hutan kota agar terhindar dari bahaya erosi dan longsoran.
Hutan kota yang berada di daerah pesisir dapat berguna untuk mengamankan daerah pantai dari gempuran ombak laut yang dapat menghancurkan pantai. Untuk beberapa kota masalah abrasi pantai ini merupakan masalah yang sangat penting.
f. Tipe Pengamanan
Yang dimaksudkan hutan kota dengan tipe pengamanan adalah jalur hijau di sepanjang tepi jalan bebas hambatan. Dengan menanam perdu yang liat dan dilengkapi dengan jalur pohon pisang dan tanaman yang merambat dari legum secara berlapis-lapis, akan dapat menahan kendaraan yang keluar dari jalur jalan. Sehingga bahaya kecelakaan karena pecah ban, patah setir ataupun karena pengendara mengantuk dapat dikurangi.
Pada kawasan ini tanaman harus betul-betul cermat dipilih yaitu yang tidak mengundang masyarakat untuk memanfaatkannya.
Tanaman yang tidak enak rasanya seperti pisang hutan dapat dianjurkan untuk ditanam di sini.
5.3. Fungsi Hutan Kota
Fungsi hutan kota sangat tergantung pada komposisi dan keanekaragaman jenis dari komunitas vegetasi yang menyusunnya dan tujuan perancangannya.
5.3.1. Fungsi Lansekap
Fungsi lansekap meliputi fungsi fisik dan fungsi sosial, yaitu:
1) Fungsi fisik. Vegetasi sebagai unsur struktural berfungsi sebagai perlindungan kondisi fisik alami seperti angin, sinar matahari, pemandangan yang kurang bagus dan bau. Penggunaan untuk maksud ini ditentukan oleh ukuran dan bentuk kerapatan vegetasi. Secara arsitektural vegetasi sangat penting di dalam tata ruang luar. Vegetasi dapat digunakan pada ruang luar untuk menghubungkan bangunan dengan tapak di sekitarnya, menyatukan dan menyelaraskan lingkungan sekitar yang seolah tidak beraturan, memperkuat titik-titik dan area-area tertentu dalam lansekap, mengurangi kekakuan unsur-unsur arsitektural yang keras dan membingkai pemandangan. Dalam hal ini vegetasi dapat berfungsi sebagai pelengkap, pemersatu, penegas, pengenal, pelembut, dan pembingkai.
2) Fungsi sosial. Penataan vegetasi dalam hutan kota yang baik akan memberikan tempat interaksi sosial yang sangat
produktif. Di dalam hutan kota, penyair atau seniman dapat merenung sehingga menjadi sumber inspirasi dan ilham. Hutan kota dengan aneka vegetasinya mengandung nilai-nilai ilmiah yang dapat menjadi laboratorium hidup untuk sarana pendidikan dan penelitian. Fungsi kesehatan (hygiene), misalnya untuk terapi mata dan mental serta fungsi rekreasi, olahraga, dan sebagai tempat interaksi sosial lainnya. Rekreasi erat kaitannya dengan estetika dan merupakan bagian dari hidup manusia, yaitu berbagai kegiatan untuk mencari kesegaran mental dalam rangka memperbaiki semangat seseorang yang dapat menimbulkan inisiatif dan perspektif kehidupan sehingga siap kembali untuk bekerja keras (Douglass, 1970). Fungsi sosial politik ekonomi, misalnya untuk persahabatan antar negara. Hutan kota dapat memberikan hasil tambahan secara ekonomi untuk kesejahteraan penduduk dengan menghasikan buah-buahan dan obat-obatan sebagai warung hidup dan apotek hidup.
5.3.2. Fungsi Pelestarian Lingkungan (Ekologi)
Dalam pengembangan dan pengendalian kualitas lingkungan, fungsi lingkungan diutamakan tanpa mengesampingkan fungsi-fungsi lainnya. Fungsi lingkungan antara lain:
a. Menyegarkan Udara atau Sebagai ”Paru-Paru Kota”
Vegetasi mengambil CO2 dalam proses fotosintesis dan menghasilkan O2 yang sangat diperlukan makhluk hidup untuk pernapasan.
Menurut Grey dan Deneke (1976) dalam Djamal (2005), setiap jam 1 ha daun-daun hijau menyerap 8 kg CO2 yang ekuivalen dengan CO2 yang dihembuskan oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama sebagai hasil pernapasannya. O2 sebagai hasil fotosisntesis, sebagian dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan untuk berjalannya proses respirasi (pernapasan). Pada proses respirasi justru memerlukan O2 dan menghasilkan CO2.
Soemarwoto (1991) mengemukakan bahwa pada fase pertumbuhan, tumbuhan atau sekumpulan tumbuhan seperti hutan, laju fotosisntesis (P) lebih besar daripada proses pernapasan (R), sehingga P/R = > 1. Pada fase ini laju pengikatan CO2 lebih besar daripada laju emisi CO2, sehingga hutan mengurangi kadar CO2 dalam atmosfer. Akan tetapi, semakin besar hutan maka semakin banyak daun yang ternaungi dan semakin besar pula proporsi bagian tumbuhan yang kurang mengandung klorofil seperti batang dan akar. Dengan demikian nisbah P/R semakin mengecil, akhirnya akan mendekati 1. Apabila tumbuhan atau hutan mencapai keseimbangan dinamik maka laju pengikatan CO2 sama dengan laju pelepasan CO2. Begitu pula tumbuhan yang muda biasanya P/R > 1, semakin tua tumbuhan P/R maka semakin mendekati 1.
b. Menurunkan Suhu Kota dan Meningkatkan Kelembaban
Kelembaban udara menunjukkan kandungan uap air di atmosfer pada suatu saat dan waktu tertentu. Kelembabpan udara berhubungan dengan keseimbangan energi dan merupakan ukuran banyaknya energi radiasi berupa panas laten yang dipakai untuk menguapkan air yang terdapat di permukaan yang menerima radiasi. Semakin banyak air yang diuapkan, semakin banyak energi yang berbentuk panas laten dan makin lembab udaranya.
Tanaman yang tinggi, laju evapotranspirasinya lebih besar. Kehilangan panas karena terjadinya evaporasi akan menyebabkan suhu di sekitar tanaman menjadi lebih sejuk.
c. Sebagai Ruang Hidup Satwa
Vegetasi atau tumbuhan selain sebagai produsen pertama dalam ekosistem juga dapat menciptakan ruang hidup (habitat) bagi makhluk hidup lainnya, contohnya burung. Burung sebagai komponen ekosistem mempunyai peranan penting, diantaranya adalah mengontrol populasi serangga, membantu penyerbukan bunga dan penyebaran biji.
Hampir pada setiap bentuk kehidupan terkait erat dengan burung, sehingga burung mudah dijumpai di beberapa tempat. Dengan kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa burung dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan. Karena apabila terjadi pencemaran lingkungan, burung merupakan komponen alam terdekat yang terkena pencemaran.
Burung berperan dalam rekreasi alam, hal ini terbukti dengan adanya taman burung yang selalu dikunjungi orang, untuk menikmati bunyi, kecantikan, ataupun kecakapan burung. Burung mempunyai nilai pendidikan dan penelitian. Keindahan burung dengan segala yang dimilikinya akan memberikan suatu kenikmatan tersendiri.
Berbagai jenis burung memerlukan berbagai jenis makanan. Komposisi dan struktur vegetasi akan memengaruhi jenis dan jumlah burung untuk melakukan aktivitasnya.
Hasil penelitian Kusnadi (1983) dalam Hernowo (1989) menunjukkan jumlah dan jenis burung semakin meningkat dengan bertambahnya jarak dari pusat kegiatan industri. Pada jarak 1 km dijumpai 32 jenis, jumlahnya 1.012 ekor, jarak 2 km terdapat 46 jenis dengan jumlah 1.123 ekor, dan jarak 3 km terdapat 52 jenis dengan jumlah 1.309 ekor. Hal ini menunjukkan burung merupakan salah satu indikator lingkungan, sehingga keberadaannya harus diperhatikan.
erdapat burung yang mempunyai kebiasaan berada dari tajuk sampai ke bawah tajuk. Ini menunjukkan bahwa apabila hutan kota mempunyai komposisi yang banyak jenisnya, berlapis-lapis, dan berstrata akan membuat banyak burung tertarik. Hasil penelitian Zoer’aini Djamal Irwan (1994) menunjukkan bahwa burung lebih banyak dijumpai, baik jenis maupun jumlahnya pada hutan kota yang ditanami dengan tanaman produktif (berbunga, berbuah, dan berbiji) pada struktur hutan kota yang berstrata banyak.
Kehadiran burung pada hutan kota juga dikarenakan adanya jenis buah-buahan (tanaman produktif). Tanaman produktif dalam hal ini adalah tanaman yang menghasilkan bunga, buah, dan biji sehingga memberikan kesempatan lebih besar kepada burung (herbivor) yang menyukainya untuk datang, mencari makan, bercengkerama, atau bersarang. Kehadiran burung juga dapat terjadi karena adanya informasi dari hutan kota terhadap burung, misalnya dari bentuk tajuk, aroma, maupun estetika dari vegetasi yang ada.
d. Penyanggah dan Perlindungan Permukaan Tanah dari Erosi
Fungsi hutan kota lainnya adalah sebagai penyanggah dan pelindung permukaan tanah dari air hujan dan angin untuk penyediaan air tanah dan pencegahan erosi.
e. Pengendalian dan Mengurangi Polusi Udara dan Limbah
Untuk mengendalikan atau mengurangi polusi udara, limbah, dan menyaring debu. Debu atau partikulat terdiri dari beberapa
komponen zat pencemar. Dalam sebutir debu terdapat unsur-unsur seperti garam sulfat, sulfuroksida, timah hitam, asbestos, oksida besi, silika, jelaga, dan unsur kimia lainnya. Pencemaran debu secara langsung dapat menyebabkan kerusakan pada organ pernapasan dan kulit.
Hasil penelitian Zoer’aini Djamal Irwan (1994) menunjukkan bahwa hutan kota dapat menurunkan kadar debu sebesar 46,13% di siang hari pada permulaan musim hujan. Hutan kota yang berstrata banyak lebih efektif menurunkan kadar debu, yaitu sebesar 53,56%, dibandingkan dengan hutan kota yang berstrata dua menurunkan kadar debu sebesar 42,89%. Tumbuhan dapat mengurangi debu dengan tajuk yang rindang sesuai dengan ketentuan berikut :
1) Sebidang tanah seluas 300 x 400 m2 dapat menurunkan kadar debu dalam udara dari 7.000 partikel/liter menjadi 4.000 partikel/liter.
2) Antara ujung-ujung suatu jalur hijau sepanjang 5 km dengan lebar 2 km, konsentrasi debu menurun dengan perbandingan 50 : 3.
Berbagai jenis penelitian lainnya hanya menunjukkan bahwa vegetasi dapat mengakumulasi berbagai jenis polutan. Penelitian Wargasasmita et. al. (1991) menunjukkan bahwa tumbuhan dapat mengakumulasi Pb pada daun dan kulit batangnya. Terbukti dari hasil penelitian itu bahwa kandungan Pb pada tumbuhan sejenis, di lokasi yang jauh dari pinggir jalan. Jahja Fakuara et. al., menemukan dalam penelitiannya bahwa Cassia siamea (johar),
Pithecellobium dulce (asam landi), dan Swietenia macrophylla (mahoni) mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyerap Pb. Badri (1986) mengemukakan bahwa merupakan tumbuhan dari pencemaran logam berat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Axonopus compressus, Acalypha wilkesana, dan Pterocarpus indicus dapat menyerap logam berat seperti Zn, Cu, dan Pb. Hasil penelitian Dahlan (1989) menunjukkan bahwa kandungan Pb jerapan dan Pb serapan sangat bervariasi menurut jenis daun. Daun tanaman Agathis Alba (damar), Bixa orellana (kesumba), Filicium decipiens (kiara payung), Swietenia macrophylla (mahoni), Podocarpus imricatus (jamuju), dan Myristica fragrans (pala) mempunyai potensi yang tinggi sebagai pereduksi Pb. Sedangkan daun pohon pala, jamuju, kupu-kupu, damar, kesumba, mahoni, dan kirai payung mempunyai kemepuan untuk mereduksi Pb dengan kadar tinggi dan sedang. Daun pohon kupu-kupu mempunyai kemampuan penyerapan relatif lebih rendah.
Penelitian Misawa et. al. (1993) mengenai studi sabuk hijau terhadap kualitas udara dengan enam jenis tumbuhan, yaitu Pasania edulis, Quercus myrsinaefolia, Mirica rubra, Ilex integra, Ilex rotunda, dan Cryptomeria japonica dengan bebagai bentuk struktur jalan (lihat Tabel Lampiran 8). Oleh karena itu sebaiknya, agar penyerapan partikulat dapat terjadi sebanyak mungkin, perlu dikembangkan struktur jalan dan penutupan jalan dengan sabuk vegetasi. Grey dan Deneke (1976) mengemukakan bahwa ada beberapa tumbuhan tertentu yang dapat menyerap polutan tertentu.
Seperti sebagian spesies kayu manis dan yellow birch dapat menyerap sulfur dioxide.
Ahli dari Rusia, Robinette (1972), menunjukkan hasil penelitiannya bahwa lingkungan pabrik dengan luas 500 m lahan hijau dapat menurunkan sekitar 70% sulfur dioxide dan 67% nitrit oxide.
f. Peredaman Kebisingan
Kebisingan adalah suara yang berlebihan, tidak diinginkan dan sering disebut “polusi tak terlihat” yang menyebabkan efek fisik dan psikologis. Efek fisik berhubungan dengan transmisi gelombang suara melalui udara, efek psikologis berhubungan dengan respons manusia terhadap udara.
Telinga manusia dapat mendeteksi frekuensi suara berkisar antara 20-20.000 CPS. Intensitas suara yang dapat didengar oleh
telinga manusia antara 0-10 desibel. Peningkatan kadar bising di ruang luar ditentukan oleh :
a. Keadaan sumber bunyi (frekuensi, lokasi, komposisi, apakah berbentuk garis atau titik);
b. Keadaan alam dan vegetasi yang dilalui bunyi;
c. Keadaan atmosfer, antara lain kecepatan dan arah angin, temperatur, dan kelembaban udara.
Seberapa jauh tingkat kebisingan yang dapat dikontrol oleh vegetasi tergantung pada jenis spesies, tinggi tumbuhan, kerapatan, dan jarak tumbuh; faktor iklim yaitu angin, kecepatan, temperatur, dan kelembaban; properti dari suara yaitu tipe, asal, tingkat desibel, dan intensitas suara tersebut. Gelombang suara diabsorbsi oleh daun-daun, cabang-cabang, ranting-ranting dari pohon dan semak. Telah dipostulasikan bahwa bagian tanaman yang paling efektif untuk absorbsi suara adalah bagian yang memiliki daun tebal, berdaging dengan banyak petiole.
Studi yang dilakukan oleh School of Engineering di Universitas Nebraska, Rocky Mountain Forest, Range Experiment Station, dan di hutan Amerika dengan hasil sebagai berikut (Cook dan Van Haverbeke, 1971 dalam Djamal, 2005) :
1) Pengurangan kebisingan yang disebabkan oleh kendaraan berkecepatan tinggi dan truk di daerah pedesaan dapat diperoleh hasil terbaik dengan menanam pohon dan semak yang lebarnya 20m - 30m, penyangga tepinya 16m - 20m dari pusat jalur lalu lintas terdekat. Deretan pusat pohon dengan ketinggian minimal 14m.
2) Penurunan kebisingan lalu lintas yang berasal dari kendaraan roda empat dengan kecepatan sedang di daerah perkotaan dengan menggunakan pohon dan semak penyangga yang lebarnya 6m - 16m akan efektif dengan semak penyangga adalah semak yang tepinya 2m - 2,5m serta latar belakangnya deretan pohon dengan tinggi sekitar 4,5m - 10m.
3) Untuk mendapatkan hasil yang optimum, jajaran semak dan pohon seharusnya ditanam dekat pusat kebisingan.
4) Pohon-pohon tinggi yang rindang dapat pula digunakan, vertikal dan seragam yang dikombinasikan dengan semak. Jika pohon yang tinggi kurang dapat digunakan maka dapat mengombinasikan semak yang rendah dengan rumput yang tinggi atau penutup tanah yang lembut sebagai lawan dari permukaan trotoar, tumpukan batu, dan kerikil.
5) Pohon dan semak yang ditanam saling menutupi merupakan suatu kesatuan sehingga dapat menjadi bafer yang kuat.
6) Sebaiknya ditanam conifer atau vegetasi yang hijau sepanjang tahun.
7) Jarak penyangga sebaiknya dua kali jarak dari pusat sumber suara ke penerima, dan pada kedua sisi dan sepanjang jalan jika digunakan pada jalur lalu lintas.
Penggunaan vegetasi untuk menyaring kebisingan tidak akan efektif apabila tidak memerhatikan ukuran dan kepadatannya. Akan lebih efektif lagi jika vegetasi menggunakan kombinasi topografi jalan.
Hutan kota berfungsi untuk mengurangi kebisingan selain menghalangi gelombang suara juga menghalangi sumber suara. Cook dan Van Haverbeke (1971) dalam Djamal (2005) dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jalur pepohonan yang tinggi dan padat dikombinasikan dengan semak digabungkan dengan permukaan halus lainnya, akan mengurangi kebisingan sampai 50%. Fakta-fakta berikut ini memberikan beberapa arti fisik terhadap skala desibel dari tingkat intensitas suara, yaitu :
1) 0 desibel sama dengan awal pendengaran;
2) 130 desibel dapat disamakan awal dari rasa sakit;
3) perubahan 1 desibel dalam SPL merupakan perbedaan terkecil yang dapat dikenal;
4) peningkatan 10 desibel dapat disamakan dengan dua kali lipat peningkatan kebisingan yang nyata;
5) suara yang biasa terdengar adalah 40 desibel (lokasi permukiman pada malam hari di lokasi yang tenang) dan 80 desibel (truk besar atau sepeda motor yang lewat dalam jarak 16 m).
g. Tempat Pelestarian Plasma Nutfah dan Bioindikator
Hutan kota juga berfungsi sebagai tempat pelestarian plasma nutfah dan bioindikator dari timbulnya masalah lingkungan seperti hujan asam. Karena tumbuhan tertentu akan memberikan reaksi tertentu terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya.
Plasma nutfah sangat diperlukan dan mempunyai nilai yang sangat tinggi dan diperlukan untuk kehidupan. Masih banyak jenis
vegetasi yang belum dikenal, terutama yang jenisnya belum diketahui. Jenis-jenis yang belum dapat diketahui ini dapat digunakan dalam dunia kesehatan sebagai bahan baku untuk obat-obatan. Di dunia pertanian sangat berguna jika jenis ini dikawinkan dengan jenis yang sudah dikenal dalam rangka mencari bibit unggul.
h. Menyuburkan Tanah
Sisa-sisa tumbuhan akan dibusukkan oleh mikroorganisme dan akhirnya terurai, lalu menjadi humus atau materi yang merupakan sumber hara mineral bagi tumbuhan.
5.3.2. Fungsi Estetika
Karakteristik visual atau estetika erat kaitannya dengan rekreasi. Ukuran, bentuk, warna, dan tekstur tanaman serta unsur komposisi dan hubungannya dengan lingkungan sekitarnya merupakan faktor yang memengaruhi kalitas estetika. Kualitas visual vegetasi sangat penting karena tanggapan seseorang merupakan reaksi dari suatu penampakan. Hutan, selain memberikan hasil utama dan sebagai sumber air, juga merupakan sarana untuk berekreasi.
Hutan kota dapat memberikan kenyamanan dan kenikmatan kepada penduduk kota jika dapat mengembangkan dan membangun hutan kota ditata dengan baik. Tingkat kenyamanan seseorang selain tergantung pada faktor usia dan kebudayaan, juga sangat ditentukan oleh suhu dan kelembaban (iklim mikro). Kenyamanan dapat didesain pada batas-batas tertentu dengan menggunakan vegetasi,
memodifikasi suhu, angin dan kelembapan. Diharapkan hutan kota dapat memenuhi tingkat kenyamanan yang dikehendaki karena hutan kota dapat memodifikasi iklim mikro.
hutan kota dengan struktur yang berstrata banyak memberikan banyak keuntungan bagi penduduk kota karena :
1. Hutan kota berstrata banyak lebih efektif menanggulangi masalah lingkungan perkotaan;
2. Lingkungan di sekitar hutan kota berstrata banyak lebih nyaman
3. Lingkungan di sekitar hutan kota berstrata banyak lebih terasa nikmat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar